IDXChannel - Instrumen pembangunan nasional yang berwawasan atau bercorak maritim dan kepulauan belum banyak tersedia saat ini. Regulasi dan kebijakan yang ada belum cukup kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Salah satu kebutuhan yang mendesak adalah perlunya RUU Daerah Kepulauan. RUU ini akan memberi peran kepada daerah kepulauan untuk mengembangkan inisiatif lokal dalam pemanfaataan sumberdaya laut, melindungi atau melakukan konservasi sumberdaya laut, dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan ilegal yang terjadi di perairan laut.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa RUU Daerah Kepulauan menjadi sangat urgen untuk memberi peran yang lebih besar bagi provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki luas laut yang besar untuk melakukan pengendalian kegiatan pembangunan. “Desentralisasi pengelolaan laut dan pesisir mesti diberikan kepada provinsi kepulauan karena karakteristik wilayah, sumberdaya laut dan rentang kendali pembangunan yang berbeda dengan wilayah berbasis kontinental” kata Abdi dalam siaran pers yang disampaikan, Senin (4/10/2021).
Oleh karena itu, dirinya meminta kepada pemerintah dan DPR untuk segera membahas RUU daerah kepulauan agar menjadi produk hukum, Saat ini RUU Daerah Kepulauan telah masuk dalam Prolegnas 2021 dan menunggu sikap pemerintah dan DPR untuk membahasnya. “Pemerintah dan DPR mesti menjadikan RUU Daerah Kepulauan sebagai prioritas dalam masa sidang tahun ini” kata Abdi.
Akibat ketiadaan perbedaan perlakukan atau afirmatif pembangunan antara provinsi kepulauan dan provinsi kontinental menyebabkan ketertinggalan pembagunan semakin sulit terkejar. “Jika tidak ada insentif bagi daerah kepulauan, maka jangan bermimpi wilayah seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara akan dapat sejajar dengan wilayah lain di Jawa” kata Abdi. Hal ini disebabkan karena pembiayaan pembangunan daerah kepulauan memiliki indeks kemahalan yang berbeda. “Variabel pembangunan di daerah kepulauan jauh lebih kompleks, transportasi sulit dan logistik berbiaya mahal sehingga luas wilayah laut mesti menjadi variabel yang signifikan” kata Abdi.
Dirinya menambahkan, kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan saat ini sangat mengandalkan dukungan dari pusat yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Pemerintah provinsi tidak memiliki kapasitas dan kepedulian dalam pengawasan sumberdaya laut dari kegiatan ilegal dan destructive fishing karena postur pengawasan sumberdaya laut di provinsi sangat lemah” kata Abdi. Padahal kejahatan tersebut terjadi dihalaman rumah pemerintah daerah tapi cenderung dibiarkan karena tidak tersedianya perangkat pengawasan seperti armada kapal pengawas, peralatan dan biaya pengawasan yang mencover wilayah laut yang luas.
Selain itu, keberadan kawasan konservasi perairan daerah yang menjadi kewenangan provinsi kondisinya juga sangat memprihatinkan. “Tidak terurus dan belum menjadi prioritas provinsi karena paradgima pembangunan yang mengaggap konservasi laut sebagai beban” kata Abdi. Padahal kawasan konservasi laut dapat menjadi kawasan pariwisata yang unik dan menarik wisatawan peminat khusus. “Lokasi diving terbaik ada di provinsi kepulaun dan berpotensi mendatangkan devisa besar bagi negara” kata Abdi.
Dirinya mengingatkan dengan adanya UU Cipta Kerja berimplikasi pada pengawasan sumberdaya laut dan pesiir yang berbasis resiko. “Pengawasan perizinan berusaha berbasis resiko akan tumpul dan luput mendapat perhatian dan pengawasan jika kegiatan pembagunan terjadi pada daerah-daerah yang remote di kepulauan” kata Abdi. Oleh karena itu, hal tersebut perlu diantisipasi dengan memperkuat peran pemerintah daerah kepulauan melalui UU Daerah Kepulauan agar pemerintah provinsi mempunyai kewenangan dan kapasitas dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan diwilayah pesisir dan pulau kecil yang menjadi ruang lingkup kewenangannya. (TIA)