Tanah-tanah yang tumpang tindih tersebut biasanya terjadi pada sertifikat tanah yang dikeluarkan pada tahun 1961-1997 alias sertifikat KW 456. Masyarakat diimbau untuk mendaftarkan ulang jika masih mengantongi sertifikat di bawah tahun 1997 agar tidak terjadi sengketa lahan di kemudian hari.
Di sisi lain, sertifikat yang dikeluarkan di bawah tahun 1997 belum punya metode pengukuran tanah yang akurat terkait batas-batas tanah yang dibeli masyarakat pada saat itu. Sehingga, ketika penduduk asli Jakarta ini pindah, banyak yang tidak mengetahui riwayat kepemilikan tanah tersebut karena batas-batasnya hanya mengandalkan ingatan atau patokan.
"Di Jakarta Timur ada kecamatan, dulu itu desa, tahun 1980 masih masuk Bekasi, termasuk itu Ciledug masih masuk Tangerang. Itu numpuk begitu, jadi tumpang tindih Jakarta biasanya di sertifikat KW 456, ada yang 1 (sertifikat) tumpuk 4, tapi minimal 1 tumpuk 3 di Jakarta," kata Nusron, beberapa waktu lalu.
(Dhera Arizona)