"Pada saat masyarakat hanya memiliki buku manual (sertifikat fisik), pada saat terjadi bencana, seperti banjir, atau terbakar, kemudian kalau mau mencetak lagi akan kesulitan," kata Ossy.
Kehadiran sertifikat elektronik ini juga dianggap mampu meminimalisasi terjadinya konflik atau sengketa pertanahan. Sebab, dokumen resmi pertanahan bisa dibuktikan dengan kepemilikan elektronik, meski secara fisik ada pihak yang mengklaim.
Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid menyebut saat ini masih banyak sertifikat tanah di Jakarta yang tumpang tindih kepemilikan dengan orang lain. Hal berpotensi terjadi sengketa lahan bagi para pemegang sertifikat.
Bahkan, Nusron Wahid menyebut rerata 1 bidang tanah di Jakarta punya 3 sertifikat yang tumpang tindih dengan atas nama yang berbeda. Hal ini disebabkan kurangnya teknologi pada zaman dahulu terkait proses pengukuran dan penerbitan sertifikat.