Selain itu, pemadaman listrik juga menunda proses produksi dan mempersulit pemenuhan tenggat waktu untuk ekspor dan mengurangi daya saing ekspor garmen Bangladesh.
Penundaan ini juga memaksa eksportir untuk menggunakan pengiriman udara yang lebih mahal untuk memenuhi tenggat waktu ekspor. Dengan demikian, meningkatkan biaya produksi dan mengurangi ekspor.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ekspor pakaian jadi Bangladesh mencatat pertumbuhan negatif 7,5% pada September 2022 jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Senada dengan itu, PDB Bangladesh diperkirakan akan tumbuh hanya sebesar 5,3% pada tahun fiskal 2023, menurut laporan Asian Development Outlook (ADO) April 2023.
Perlambatan ekonomi dan penurunan pendapatan ekspor ditambah dengan peningkatan impor energi secara drastis telah dengan cepat menghabiskan cadangan devisa negara tersebut.
Kondisi ini bahkan mendorong Bangladesh mencari pinjaman sebesar USD4,5 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Diketahui negara ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil. Serta, isu krisis energi tidak saja terjadi tahun ini, namun sejak tahun lalu.
Mengutip riset Observer Research Foundation, penyebab krisis energi yang dialami Bangladesh adalah kombinasi faktor global dan domestik.
Di mana hampir 85% listrik nasional dihasilkan menggunakan bahan bakar fosil seperti gas alam dan minyak, yang merupakan bahan bakar fosil sebagai sumber utamanya.
Kenaikan eksponensial harga minyak dan gas karena perang energi Rusia pada 2022, hingga pemotongan pasokan minyak OPEC+ dan Embargo Uni Eropa pada minyak mentah Rusia telah mengakibatkan lonjakan inflasi dan tagihan impor energi tersebut.
Dengan demikian, kondisi ini sempat memaksa Bangladesh untuk menghentikan pembelian gas dan menutup beberapa pembangkit listrik tenaga solar. (ADF)