sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Krisis Listrik Bangladesh Makin Parah, Bisnis Zara hingga H&M Bisa Terdampak

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
06/06/2023 17:07 WIB
Krisis listrik Bangladesh terpantau semakin parah. Negara ini kemungkinan akan mengalami pemadaman listrik selama dua pekan ke depan.
Krisis Listrik Bangladesh Makin Parah, Bisnis Zara hingga H&M Bisa Terdampak. (Foto: MNC Media)
Krisis Listrik Bangladesh Makin Parah, Bisnis Zara hingga H&M Bisa Terdampak. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Krisis listrik Bangladesh terpantau semakin parah. Negara ini kemungkinan akan mengalami pemadaman listrik selama dua pekan ke depan.

Pemadaman listrik ini berpotensi mengganggu aktivitas warga dan bisnis ekspor pakaian dari negara tersebut. 

Bangladesh mengalami konsumsi listrik yang lebih tinggi karena kenaikan suhu ekstrem.

Negara tersebut diketahui menderita kekurangan listrik yang parah sejak April karena gelombang panas yang membuat melonjaknya permintaan listrik dan topan mematikan yang memutus pasokan gas alam untuk pembangkit.

Bangladesh menutup pembangkit listrik utama pada Senin (5/6/2023) karena penundaan impor batu bara. Hal ini disebabkan karena khambatan cadangan devisa di negara tersebut.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Payra dengan kapasitas 1.320 megawatt listrik, telah ditutup karena kekurangan bahan bakar berupa batu bara.

Direktur proyek pembangkit listrik tersebut, Shah Golam Mowla mengatakan, pengiriman sekitar 37 ribu ton batu bara dijadwalkan tiba pada 25 Juni.

Dia menambahkan, bank sentral telah memberikan dukungan sebesar 100 juta dolar AS untuk impor batu bara.

Ekspor Garmen Bisa Terancam

Berdasarkan laporan Al Jazeera, Senin (5/6/2023) pemadaman listrik ini berpotensi mengancam sektor pakaian jadi Bangladesh.

Diketahui bahwa Bangladesh merupakan pemasok utama untuk perusahaan kelas dunia seperti Walmart, Gap Inc, H&M, VF Corp, American Eagle Outfitters, hingga Zara.

Saat ini, Bangladesh adalah pengekspor garmen terbesar kedua di dunia di mana sektor Ready-Made Garments (RMG) menyumbang 84% dari ekspornya. Oleh karena itu, industri ini sangat penting sebagai penghasil utama cadangan devisa negara.

Kesuksesan ekonomi Bangladesh selama ini ditopang oleh RMG dan menghasilkan lebih dari 10% produk domestik bruto (PDB) dan mempekerjakan sekitar 4,4 juta pekerja. Pada 2021, nilai ekspor RMG Bangladesh bahkan mencapai USD31,46 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

Adapun data terbaru menunjukkan ekspor garmen siap pakai (RMG) Bangladesh meningkat sebesar 12,17% menjadi USD35,252 miliar dalam sembilan bulan pertama tahun fiskal 2022-23 (Juli-Juni).

Angka ini meningkat dibandingkan dengan ekspor sebesar USD31,428 miliar pada Juli-Maret 2022, berdasarkan data yang dirilis oleh Export Promotion Bureau (EPB).

Namun, krisis saat ini berpotensi memperburuk kinerja industri ini. Banyak pabrik telah melaporkan penurunan produksi hingga 50% sejak pertengahan 2022 lalu.

Hal ini disebabkan oleh pemadaman listrik harian, yang berlangsung rata-rata sekitar tiga jam dan telah menjadi salah satu kontributor utama tren ini.

Di sektor RMG, pabrik harus berurusan dengan pasokan listrik yang terputus-putus dengan mengandalkan generator agar unit pencelupan dan pencucian tetap berfungsi.

Perusahaan harus merogoh kocek ekstra untuk menggunakan generator diesel yang tiga sampai empat kali lebih mahal dan pada akhirnya meningkatkan biaya produksi mereka.

Selain itu, pemadaman listrik juga menunda proses produksi dan mempersulit pemenuhan tenggat waktu untuk ekspor dan mengurangi daya saing ekspor garmen Bangladesh.

Penundaan ini juga memaksa eksportir untuk menggunakan pengiriman udara yang lebih mahal untuk memenuhi tenggat waktu ekspor. Dengan demikian, meningkatkan biaya produksi dan mengurangi ekspor.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ekspor pakaian jadi Bangladesh mencatat pertumbuhan negatif 7,5% pada September 2022 jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Senada dengan itu, PDB Bangladesh diperkirakan akan tumbuh hanya sebesar 5,3% pada tahun fiskal 2023, menurut laporan Asian Development Outlook (ADO) April 2023.

Perlambatan ekonomi dan penurunan pendapatan ekspor ditambah dengan peningkatan impor energi secara drastis telah dengan cepat menghabiskan cadangan devisa negara tersebut.

Kondisi ini bahkan mendorong Bangladesh mencari pinjaman sebesar USD4,5 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Diketahui negara ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil. Serta, isu krisis energi tidak saja terjadi tahun ini, namun sejak tahun lalu.

Mengutip riset Observer Research Foundation, penyebab krisis energi yang dialami Bangladesh adalah kombinasi faktor global dan domestik.

Di mana hampir 85% listrik nasional dihasilkan menggunakan bahan bakar fosil seperti gas alam dan minyak, yang merupakan bahan bakar fosil sebagai sumber utamanya.

Kenaikan eksponensial harga minyak dan gas karena perang energi Rusia pada 2022, hingga pemotongan pasokan minyak OPEC+ dan Embargo Uni Eropa pada minyak mentah Rusia telah mengakibatkan lonjakan inflasi dan tagihan impor energi tersebut.

Dengan demikian, kondisi ini sempat memaksa Bangladesh untuk menghentikan pembelian gas dan menutup beberapa pembangkit listrik tenaga solar. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement