Kemudian, kata Eisha, dari sisi UMKM juga pasti sama halnya dengan industri atau sektor usaha yang lainnya bahwa kenaikan harga-harga input, itu memberikan dampak terhadap biaya produksi.
"Namun kalau kita lihat dari historis bahwa di 97 ketika nilai tukar itu sangat tinggi justru yang bertahan itu UMKM, justru waktu itu mungkin UMKM yang banyak menggunakan alokasi sumber daya dalam negeri, dia mengolah bahan-bahan sumber daya di dalam negeri," kata Eisha.
Semakin majunya UMKM Indonesia, menurut Eisha sekarang melihat bahwa border openers semakin tinggi. UMKM sekarang juga banyak yang menggunakan input atau menjual trading, seperti reseller dari barang-barang luar negeri.
"Jadi depresiasi bisa memberikan dampak ke biaya produksi sehingga ujungnya pasti harga-harga produknya akan meningkat kalau tidak bisa menahan biaya beban produksi," tutup Eisha.
(NIY)