sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Memahami Greenflation dalam Transisi Energi Hijau

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
22/01/2024 15:31 WIB
Green Inflation menjadi topik panas dalam ajang debat keempat pemilu presiden (pilpres) 2024.
Memahami Greenflation dalam Transisi Energi Hijau. (Foto: Freepik)
Memahami Greenflation dalam Transisi Energi Hijau. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Green Inflation menjadi topik panas dalam ajang debat keempat pemilu presiden (pilpres) 2024.

Gibran Rakabumingraka yang merupakan pasangan calon (paslon) nomor urut 2, bertanya kepada Mahfud MD (paslon nomor 3) terkait istilah ini.

"Bagaimana cara mengatasi greenflation? Ini tadi tidak saya jelaskan karena beliau ini seorang profesor, green inflation adalah inflasi hijau, se-simple itu," ujar Gibran.

Melansir BNP Paribas, inflasi hijau alias greenflation paling sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.

Greenflation mengacu pada kondisi pembengkakan biaya dan harga karena model bisnis yang mengadaptasi metode produksi dengan teknologi rendah karbon, yang mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca, di satu sisi memerlukan investasi besar dan mahal. Sistem produksi ini akan meningkatkan biaya marjinal setiap unit yang diproduksi dalam jangka pendek dan meningkatkan penggunaan energi.

Menurut riset BNP Paribas, pontoh pendorong greenflation di Uni Eropa misalnya, adalah fenomena penerapan pajak karbon. Banyak negara Eropa (Prancis, Denmark, Jerman, dll.) telah menerapkan pajak karbon. Harga per ton CO2 hari ini sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan ketika Perjanjian Paris ditandatangani pada bulan Desember 2015. (Lihat grafik di bawah ini.)

Greenflation menimbulkan dampak makroekonomi tidak langsung terhadap inflasi dari upaya transisi energi, baik ke atas maupun ke bawah. Semakin cepat dekarbonisasi dimulai maka dampaknya terhadap gangguan dan inflasi akan semakin moderat.

Di sisi lain, melansir ERG Spa, greenflation mengacu pada kenaikan masing-masing komponen yang merupakan biaya produksi sumber energi terbarukan.

Sementara mengacu pada penjelasan European Central Bank (ECB), dalam upaya membangun perekonomian yang lebih berkelanjutan, kita menghadapi era baru inflasi energi dengan tiga guncangan berbeda namun saling terkait yang diperkirakan akan menyebabkan tekanan kenaikan inflasi yang berkepanjangan.

Guncangan pertama terkait dengan dampak perubahan iklim itu sendiri atau disebut sebagai climateflation

Seiring dengan meningkatnya jumlah bencana alam dan kejadian cuaca buruk, dampaknya terhadap aktivitas ekonomi dan harga juga meningkat. Misalnya saja, kekeringan yang luar biasa di sebagian besar dunia telah berkontribusi pada kenaikan tajam harga pangan baru-baru ini yang memberikan beban berat bagi masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Guncangan kedua disebut sebagai fossilflation. Kondisi ini merupakan penyebab utama peningkatan tajam inflasi kawasan euro pada 2022 lalu. Pada Februari 2022, energi menyumbang lebih dari 50 persen inflasi umum di kawasan euro, terutama mencerminkan kenaikan tajam harga minyak dan gas (migas).

Fossilflation mencerminkan dampak buruk ketergantungan pada sumber energi fosil, yang belum dikurangi secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Pada 2019, produk minyak bumi dan gas alam masih menyumbang 85 persen dari total penggunaan energi di kawasan euro.

Perjuangan melawan perubahan iklim merupakan salah satu faktor yang menyebabkan harga bahan bakar fosil menjadi lebih mahal dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya menjadi lebih nyata.

Selain itu, banyak investor institusional di pasar keuangan sudah mulai mengurangi eksposur mereka terhadap produsen energi bahan bakar fosil, yang menyebabkan peningkatan biaya pendanaan dan berkontribusi terhadap lambannya proses produksi minyak mentah di sebagian besar dunia.

Namun, sebagian besar kenaikan harga gas dan minyak pada 2022 yang melampaui tingkat sebelum pandemi mencerminkan kemampuan produsen energi untuk mengarahkan pasokan di pasar oligopolistik. Pasar minyak dan gas sering kali dibuat ketat secara artifisial, sehingga menaikkan harga dengan mengorbankan importir energi seperti kawasan euro.

Embargo terhadap impor minyak Rusia yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Inggris serta rencana Komisi Eropa untuk mengurangi impor gas Rusia sebesar dua pertiga pada 2022 berdampak pada terjadinya fossilflation.

Kondisi ini juga dampak yang lebih luas terhadap harga input dan output lainnya dan kemungkinan akan tetap menjadi kontributor penting terhadap inflasi di masa mendatang.

Sementara greenflation adalah dampak dari guncangan kategori ketiga yang sebenarnya lebih tidak kentara namun dapat dirasakan.

Banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksinya dalam upaya mengurangi emisi karbon. Namun sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan tak hanya investasi yang mahal, tapi juga sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi.

Kendaraan listrik, misalnya, menggunakan mineral enam kali lebih banyak dibandingkan kendaraan konvensional. Sementara, pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan jumlah tembaga tujuh kali lipat dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.

Apa pun jalur dekarbonisasi yang saat ini diterapkan oleh negara-negara maju, teknologi ramah lingkungan akan menjadi bagian terbesar dari pertumbuhan permintaan sebagian besar logam dan mineral di masa mendatang.

Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan, pasokan menjadi terbatas dalam jangka pendek dan menengah. Biasanya diperlukan waktu lima hingga sepuluh tahun untuk mengembangkan tambang baru.

Ketidakseimbangan antara meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan menjadi alasan mengapa harga banyak komoditas penting meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan di 2022. Harga litium, misalnya, telah meningkat lebih dari 1000 persen sejak Januari 2020 hingga Maret 2022. Pembatasan ekspor komoditas Rusia juga dapat menambah tekanan pada harga dalam waktu dekat.

Perkembangan ini menggambarkan paradoks penting dalam perjuangan melawan perubahan iklim: yakni semakin cepat dan mendesak peralihan menuju perekonomian yang lebih ramah lingkungan, maka akan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan dalam jangka pendek.

Sejauh ini, dampak inflasi hijau alias greenflation terhadap harga konsumen akhir jauh lebih kecil dibandingkan inflasi fosil alias fossilflation.

“Oleh karena itu, sangatlah menyesatkan jika kita mengklaim bahwa penghijauan perekonomian kita adalah penyebab kenaikan harga energi yang menyakitkan,”kata Isabel Schnabel, Member Executive Board ECB, dalam panel “Monetary Policy and Climate Change” The ECB and its Watchers XXII Conference 17 Maret 2022 lalu.

Namun seiring semakin banyaknya industri yang beralih ke teknologi rendah emisi, inflasi hijau diperkirakan akan memberikan tekanan pada harga berbagai produk selama masa transisi. (ADF)

Halaman : 1 2 3 4 5 6
Advertisement
Advertisement