"Hal ini mencerminkan bahwa sebetulnya ada tanda tanya besar, ada apa dengan sistem kesehatan di Republik Indonesia. Apakah "kuota" yang menjadi keluhan masyarakat adalah suatu hal yang benar terjadi di masyarakat atau justru kuota ini merupakan bagian dari tindakan yang harus dilakukan oleh penyelenggara kesehatan," ucapnya.
Menurut Ombudsman, dari banyaknya aduan tersebut seharusnya BPJS kesehatan bisa memastikan jumlah peserta BPJS kesehatan yang mengakses pelayanan di Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) tidak mendapatkan penolakan.
"Kalau dalam satu hari rumah sakit A bisa melayani 30 pasien dengan rincian 20 pelayanan untuk pasien BPJS sementara 10 itu dibagi, 5 untuk pasien mandiri kemudian 5 untuk asuransi bagaimana pihak BPJS bisa memastikan betul bahwa 20 peserta BPJS ini sudah dilayani dengan baik," tutur Belinda.
Di samping itu, Ombudsman juga menyoroti fakta di lapangan mengenai standar pelayanan. Belinda menerangkan, standar pelayanan ini masih menjadi pekerjaan serius pemerintah.
Kemudian kata dia, hak publik atas transparansi informasi perlu dibenahi. Termasuk juga mengenai pengawasan pemerintah atas praktik pelayanan yang terjadi pada rumah sakit pemerintah maupun swasta yang memang membuka layanan BPJS kesehatan.
(FAY)