Umumnya, pengembang properti menggunakan lahan bersertifikat HGB untuk membangun unit perumahan atau apartemen. HGB bisa dimiliki oleh WNI, perusahaan berbadan hukum yang berdomisili di Indonesia, dan WNA.
Tanah dengan sertifikat HGB juga bisa dinaikkan status kepemilikan tanahnya menjadi Sertifikat Hak Milik, namun ini hanya mungkin dilakukan jika tanahnya masih milik negara. Jika warga membeli rumah dengan sertifikat HGB, maka ia tidak bisa menggunakan lahan secara sembarangan.
Sertifikat Hak Milik (SHM)
SHM merupakan sertifikat kepemilikan atas tanah dengan strata tertinggi dan terkuat di mata hukum. Memiliki SHM berarti secara sah telah memiliki tanah. Pemegang SHM berkuasa penuh sebagai pemilik lahan dalam kurun waktu tak terbatas.
Sehingga, jika suatu saat ada kendala sengketa tanah, pemilik yang namanya tercantum dalam SHM-lah yang dianggap sah selaku pemilik di mata hukum. SHM hanya boleh dimiliki oleh WNI. Sertifikat ini dapat dialihkan ke pemilik lain, diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan.
Itulah perbedaan HGU, HGB, dan SHM. Ketiganya memiliki cakupan hak yang berbeda atas bidang tanah yang tercantum. Kepemilikan tertinggi adalah SHM. Sementara HGU dan HGB adalah hak guna sementara. (NKK)