3. Sistem Pengawasan
Fintech syariah memiliki pengawasan ganda. Selain diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti fintech pada umumnya, ia juga harus mendapatkan persetujuan dan pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS).
DPS memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, fintech konvensional hanya diawasi oleh OJK dan badan terkait lainnya, tanpa keterlibatan badan keagamaan.
4. Jenis Produk dan Layanan
Produk yang ditawarkan oleh fintech syariah lebih terbatas namun spesifik, seperti pembiayaan usaha mikro berbasis syariah, peer-to-peer (P2P) lending syariah, dan platform crowdfunding halal.
Sementara fintech konvensional memiliki cakupan layanan yang lebih luas, termasuk pinjaman online berbunga, layanan pay later, hingga kartu kredit digital. Ragam produk fintech konvensional biasanya lebih bervariasi karena tidak dibatasi oleh ketentuan syariah.
5. Prinsip Etika dan Tujuan
Fintech syariah mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan tolong-menolong (ta’awun). Tujuan utamanya bukan semata-mata keuntungan, tetapi juga kemaslahatan dan keberkahan dalam transaksi.
Oleh karena itu, fintech syariah sangat menghindari praktik yang dianggap merugikan salah satu pihak. Di sisi lain, fintech konvensional lebih berfokus pada efisiensi, skalabilitas bisnis, dan pertumbuhan keuntungan tanpa memperhatikan aspek spiritual atau etika agama secara spesifik.
Baik fintech syariah maupun fintech konvensional hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat dalam hal keuangan digital. Namun, keduanya memiliki prinsip dan sistem yang sangat berbeda. Fintech syariah cocok bagi Anda yang ingin bertransaksi sesuai dengan nilai-nilai Islam, sementara fintech konvensional memberikan fleksibilitas lebih luas dalam produk dan layanan.
Dengan memahami perbedaan ini, Anda bisa lebih bijak dalam memilih fintech yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai hidup Anda.
(Shifa Nurhaliza Putri)