IDXChannel - Laporan terbaru World Trade Organization (WTO) memproyeksikan, perdagangan barang dunia akan melambat lebih tajam dari perkiraan sebelumnya di tahun depan.
Dengan lonjakan biaya energi dan kenaikan suku bunga yang melemahkan permintaan rumah tangga, ekspor dan impor akan meningkat hanya 1% pada tahun 2023, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,4%. Sementara volume perdagangan barang dunia diperkirakan tumbuh 3,5% pada tahun 2022.
Afrika dan Timur Tengah akan mengalami kontraksi dalam volume perdagangan di tahun depan mencapai minus 1% dan 1,5%. Sementara Eropa dan Amerika Latin akan mengurangi impor dengan volume perdagangan mencapai minus 0,7% dan minus 1%. (Lihat grafik di bawah ini)
Sementara itu, PDB dunia juga hanya diperkirakan bertumbuh sebesar 2,3% pada tahun depan, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,2%. Adapun di tahun ini diproyeksikan akan meningkat sebesar 2,8%.
Menurut WTO, pecahnya perang di Ukraina, harga energi yang tinggi, inflasi, dan pengetatan moneter menjadi penyebab utama perlambatan ini.
“Ekonomi global menghadapi krisis multi-cabang,” kata Ngozi Okonjo-Iweala, Sekretaris Jendral WTO, mengutip WSJ (5/10).
Badan yang berbasis di Jenewa yang bertanggung jawab untuk mengatur perdagangan global ini menyebutkan, gambaran untuk tahun 2023 teramat gelap.
“Harus diwaspadai jika ada kendala dari sisi penawaran yang tidak responsif terhadap suku bunga,”kata Okonjo-Iweala mengutip Wall Street Journal.
Beberapa peristiwa global dalam beberapa waktu terakhir memang membebani perdagangan internasional. Termasuk di antaranya adalah fenomena de-globalisas, yakni pembalikan integrasi ekonomi yang semakin erat selama beberapa dekade, adanya pandemi Covid-19, dan baru-baru ini ketegangan geopolitik.
Arus perdagangan global memang telah bergejolak selama beberapa bulan terakhir. Hal ini karena adanya siklus lock-down dan pembukaan kembali pasca Covid-19 di China yang telah memengaruhi ketersediaan barang secara global.
WTO mengatakan arus perdagangan akan naik 3,5% tahun ini, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya 3%, namun angka ini turun tajam dibanding 2021 yang mencapai 9,7%.
Perlambatan Perdagangan Turunkan Inflasi Global
Menurut WTO, perlambatan arus perdagangan diramalkan akan membantu menurunkan tingkat inflasi global.
Sisi positifnya, perlambatan yang didorong oleh melemahnya permintaan dapat membantu menurunkan tekanan harga dan membuka blokir rantai pasokan serta mengurangi biaya transportasi.
Selama lonjakan volume perdagangan yang dimulai pada akhir 2020 dan berlanjut hingga tahun lalu, pelabuhan utama dunia menjadi padat dan biaya pengiriman melonjak. Kondisi ini juga disinyalir memicu inflasi.
Kapasitas kontainer laut diproyeksikan meningkat 4% tahun ini dan diperkirakan akan meningkat sebesar 8,7% tahun depan, menurut konsultan pengiriman yang berbasis di London, Braemar PLC. (Lihat grafik di bawah ini)
Pada 2 Oktober, tarif pengiriman Trans-Pasifik juga anjlok sekitar 75% dibanding tahun sebelumnya. Industri transportasi harus menghadapi kenyataan pelemahan permintaan karena banyaknya pesanan yang dibatalkan.
Tarif angkutan harian kapal rata-rata saat ini adalah USD3.900 untuk memindahkan satu kontainer melintasi Pasifik. Biaya ini menurun tajam dibandingkan dengan awal tahun yang mencapai USD14.500 dan lebih dari USD19.000 pada 2021, berdasarkan Freightos Baltic Index.
"Faktor kunci di balik ini kemungkinan adalah berkurangnya permintaan barang. Sementara ini mencerminkan rotasi permintaan dari barang kembali ke jasa, penurunan tajam dalam ekonomi global juga berperan, yang berarti bahwa penurunan tarif pengiriman bukanlah sebuah kabar baik," tulis Kiki Sondh, ekonom di Oxford Economics, mengutip WSJ.
Tanda-tanda perlambatan perdagangan global terutama terlihat di Asia, di mana eksportir terkemuka seperti Korea Selatan menunjukkan penurunan ekspor. Hal ini disebabkan karena konsumen Barat, terutama Eropa, merasakan tekanan dari inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga.
Ekspor Korea Selatan tumbuh hanya 2,8% year on year (yoy) pada bulan September, kinerja terlemah sejak Oktober 2020. Tingginya penjualan produk minyak bumi karena tingginya harga minyak juga menjadi penyebab penurunan penjualan chip komputer dan ponsel.
Sementara itu, ekspor ke China juga anjlok 6,5% yoy dan ekspor ke Eropa turun 0,7%, yoy, meskipun ekspor ke AS tercatat naik naik.
Permintaan ekspor China dari negara tetangga juga melemah karena ekonominya mendapat tekanan dari sektor real-estate yang karut-marut dan kebijakan Zero Covid-19.
Di China, ekonomi terbesar kedua di dunia, mengalami perlambatan tajam ekspor pada Agustus. Ekspor China turun menjadi USD314,92 Miliar pada Agustus dari sebelumnya USD332,96 Miliar pada Juli 2022, mengutip Trading Economics. Perlambatan ekspor ini juga dampak dari melemahnya permintaan dari Eropa. (ADF)