Namun demikian, ia memperkirakan penurunan bisnis properti dalam negeri terjadi akibat masih adanya backlog perumahan karena daya beli masyarakat yang turun.
"Kalau menurut saya akan menahan diri dari ekspansi dulu, Indonesia memang kebutuhan (rumah) ada, tetapi tidak secepat yang ada di kondisi normal," sambung Totok.
Adapun daya beli masyarakat terkoreksi sejak pandemi khususnya pembelian properti kelas menengah keatas. "Masyarakat Berpenghasilan Rendah pun terkoreksi, ada kekurangan dari kemampuan yang ada, kalau dulu misal produktivitas mereka tinggi, sekarang misal seminggu hanya 3 hari, itukan bakal terkoreksi kemampuannya," lanjutnya.
Melihat kondisi tersebut, Totok menyebut para pengembang sudah mempunyai strategi, salah satunya membangun rumah yang sesuai dengan kantong masyarakat. Yakni menyesuaikan kenaikan harga material bangunan, harga BBM yang menjadi pengangkut material tersebut dan lainnya.
"Sehingga saat ini kita naiknya average masih dibawah 3%, kenaikan harga properti, kenaikan itu karena dipengaruhi oleh ekonomi makro, bukan hanya suku bunga, tetapi ada kenaikan harga BBM," sambungnya.