IDXChannel - Indonesia telah meningkatkan produksi kobalt lebih dari lima kali lipat dalam dua tahun, berdasarkan laporan S&P Global Commodity Insights, pada 3 Agustus 2023.
RI juga disebut siap menjadi produsen logam terbesar kedua di dunia. Ambisi RI ini membuat produsen kobalt lainnya yakni Republik Demokratik Kongo ketar-ketir.
Menurut data S&P Global Market Intelligence, Indonesia dilaporkan menghasilkan sekitar 5.000 juta ton (MT) kobalt pada 2022, melonjak dari 2.500 MT pada 2021, dan 900 MT pada 2019 dan 2020.
Produksi kobalt Indonesia diperkirakan akan meningkat lebih lanjut menjadi 10.100 MT pada 2024 dan sedikit menyalip Australia yang saat ini menjadi produsen nomor dua saat ini.
Berdasarkan laporan S&P Global Market Intelligence, kebangkitan Indonesia sebagai produsen kobalt utama didorong oleh masuknya investasi China dalam operasi pemrosesan atau smelter nikel-kobalt.
Sementara Republik Kongo memproduksi sekitar 149.700 MT kobalt pada 2022, dan produksinya diperkirakan akan mengerdilkan produsen lain di tahun-tahun mendatang.
Adapun permintaan kobalt diperkirakan akan melonjak karena meningkatnya penjualan kendaraan listrik.
Kemunculan Indonesia sebagai pemasok kobalt teratas dapat membantu mendiversifikasi pasokan.
Tetapi produsen kobaltnya sendiri menghadapi masalah keberlanjutan, mulai dari dampak lingkungan hingga masalah keselamatan pekerja.
"Potensi pertumbuhan jangka panjang Indonesia tinggi. Namun, memastikan bahwa kobalt Indonesia ditambang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab merupakan hal yang tidak terpisahkan,” kata Dinah McLeod, direktur jenderal Institut Cobalt, dikutip S&P Global Commodity Insights.
Potensi Kobalt RI
Industri kobalt Indonesia bisa memperoleh manfaat dari adanya ambisi pemerintah untuk membangun rantai pasokan domestik kendaraan listrik.
Indonesia dapat meningkatkan produksi kobalt lebih dari 10 kali lipat pada 2030 dan 14 kali lipat pada 2040.
Meski demikian, harga kobalt di pasar komoditas masih tertekan sepanjang tahun ini. Harga kobalt turun USD18,535 per ton atau terkontraksi 35,68 persen di level USD 33,42 per ton sejak awal tahun 2023, menurut perdagangan contract for difference (CFD) yang melacak pasar patokan untuk komoditas ini dikutip Trading Economics, Selasa (8/8). (Lihat grafik di bawah ini.)

Sebelumnya, pemerintah RI mengumumkan larangan ekspor bijih nikel pada 019. Kebijakan ini menarik beberapa investasi China dalam pemrosesan atau smelter nikel domestik, termasuk fasilitas high-pressure acid leach (HPAL).
Fasilitas HPAL menggunakan asam sulfat untuk memulihkan nikel dan kobalt dari endapan bijih nikel laterit berkadar rendah, yang membentuk sebagian besar sumber daya nikel dunia.