Syaiful juga menyoroti dampak yang akan terjadi jika kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan. Hal ini dikhawatirkan bakal meningkatkan produk ilegal yang dapat dengan mudah membuat produk polosan tanpa merek. Padahal bagi dia, merek merupakan citra suatu produk yang dibangun dengan nilai investasi tinggi.
“Saya heran kalau itu dibikin tidak boleh ada merek, berarti produk ilegal bisa jadi bikin polosan juga tanpa was-was. Padahal brand dibangunnya juga susah sekali, perlu biaya yang besar,” katanya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes Benget Saragih menuturkan, RPMK serta PP 28/2024 tidak dimaksudkan untuk menyuruh orang berhenti merokok, melainkan menyasar anak-anak agar tidak merokok.
“Larangan peringatan merokok telah menjadi barrier, namun Indonesia kalah dalam hal ini. Sehingga pengendalian rokok anak yang jadi fokus kami,” ujarnya.