Beban tersebut berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN karena akan ada lonjakan kewajiban capacity payment dan denda yang harus dikeluarkan PLN akibat penjualan listrik di bawah capacity factor.
Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP.
Buktinya, produksi listrik dari pembangkit milik PLN pada 2022 hanya tumbuh 1,13 persen. Sedangkan pertumbuhan pembelian listrik dari IPP mencapai 16,6 persen.
Di sisi lain, Abra mengingatkan bahwa kondisi besarnya pasokan berlebih tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik, di mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4 persen per tahun, namun realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5 persen per tahun.
Dengan masuknya skema power wheeling maka akan berpotensi menggerus penjualan listrik (demand organic) PLN lebih banyak lagi hingga 10-30 persen.
Dengan demikian, skema power wheeling juga pasti akan menambah risiko melonjaknya over supply listrik sehingga bakal berdampak terhadap kesehatan keuangan negara.