"Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan rakyat (tax payer) melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema take or pay mencapai Rp 3 triliun per GW," ungkap Abra.
Di tengah meningkatnya beban oversupply listrik tersebut, tentu implikasinya adalah beban terhadap APBN baik dalam bentuk subsidi maupun kompensasi listrik.
Anggaran subsidi dan kompensasi listrik terus meningkat tiap tahunnya. Realisasi subsidi dan kompensasi listrik pada tahun 2021 mencapai Rp81,2 triliun, dan pada 2022 diproyeksikan akan mencapai Rp80,96 triliun yang terdiri dari subsidi listrik Rp21,4 triliun dan kompensasi Rp59,56 triliun.
Tidak hanya itu, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
Implikasinya, Abra menjelaskan, akan timbul tambahan cadangan putar untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem. Sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga sekitar Rp 3,44 triliun yang tentu akan membebani keuangan negara.