sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ruang Gerak Pasca Pandemi Semakin Sempit, Pesta Investor Ritel Berakhir?

Market news editor Taufan Sukma/IDX Channel
22/08/2023 18:35 WIB
Satu per satu investor ritel mulai menjerit dan mengeluhkan kondisi pasar yang dinilainya makin tidak 'bersahabat'.
Ruang Gerak Pasca Pandemi Semakin Sempit, Pesta Investor Ritel Berakhir? (foto: MNC Media)
Ruang Gerak Pasca Pandemi Semakin Sempit, Pesta Investor Ritel Berakhir? (foto: MNC Media)

IDXChannel - Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia benar-benar menyisakan berbagai kisah yang tak ada habisnya.

Tak hanya meninggalkan kisah kelam tentang luluh-lantaknya berbagai sektor usaha dan dunia bisnis, kondisi pandemi juga menyajikan anomali terkait pertumbuhan eksponensial yang terjadi di sejumlah sektor industri.

Sebut saja beragam bisnis berbasis digital, seperti e-commerce, digital banking hingga layanan transaksi online yang justru menjamur sejak pandemi berlangsung.

Tak terkecuali industri pasar modal nasional, yang turut menangguk untung berupa pertumbuhan jumlah investor ritel yang tercatat meroket hingga lebih dari enam kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Jika pada 2018 lalu jumlah total investor pasar modal tercatat sebanyak 1,82 juta orang, per Juli 2023 lalu data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyebut bahwa jumlah investor domestik telah mencapai 11,37 juta investor.

Massifnya gelombang investor ritel ini, diantaranya, sejalan dengan mulai bermunculannya berbagai aplikasi mobile (mobile app) yang berupaya mempermudah proses investasi saham lewat berbagai fitur bantuan.

Gelombang ini diperkuat dengan keterlibatan Generasi Z (Gen Z), yang dengan kesadaran keuangan cukup tinggi, juga mulai tertarik untuk turut berkecimpung di industri pasar modal sebagai investor ritel.

Dengan seluruh kondisi ini, menjadikan 2021 hingga 2022 sebagai momen merajainya investor ritel di industri pasar modal nasional.

Berbalik Arah

Namun, situasi yang terjadi di pasar saham setahun terakhir sepertinya sudah mulai berbalik arah. Satu per satu investor ritel mulai menjerit dan mengeluhkan kondisi pasar yang dinilainya makin tidak 'bersahabat'.

Dalam sebuah grup investor, misalnya, ada sebuah akun yang mengaku bakal undur diri lantaran tak kuat lagi dengan tekanan pasar yang dirasakan.

"Memang sekarang pasar sudah semakin sulit sih. Yang Saya rasakan, seperti sudah nggak support lagi untuk trading investor ritel," ujar Ahmad, salah satu investor ritel, yang kami temui, di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan.

Salah satu yang dikeluhkan Ahmad, adalah kebijakan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang baru memunculkan data dan informasi broker yang melakukan transaksi di sepanjang hari itu, saat jam perdagangan berakhir.

Kebijakan tersebut juga berlaku untuk data dan informasi investor asing yang melakukan transaksi di pasar saham domestik.

Padahal, sebelumnya, data dan informasi tersebut bisa langsung diakses oleh seluruh investor tanpa beleid sama sekali. 

Sedangkan, bagi investor ritel, data dan informasi pergerakan transaksi broker dan investor asing tersebut sangat penting sebagai 'petunjuk' atas arah investasi yang bakal dilakukan.

"Karena kalau investor besar, investor institusi, kan sampai punya Direktur Investasi segala. Sedangkan kita (investor ritel) kan harus memutuskan sendiri mau beli (saham) apa. Di lain pihak, pengetahuan kita juga terbatas. Makanya kita biasanya ngikutin tuh arah (investasi) broker kebanyakan ke mana, kita ngikut," tutur Ahmad.

Namun, dengan kini data tersebut baru tersedia saat perdagangan berakhir, maka praktis sering kali para investor ritel ini ketinggalan momen manakala ada satu atau beberapa saham yang sedang mengalami rally di hari itu.

"Yang ada kita jadi suka ketinggalan. Pas tren bullish, kita telat masuknya. Atau pas saham sudah tanda-tanda mau 'jatuh', kita juga telat lepas," keluh Ahmad.

Influencer

Mencoba mengurasi permasalahan tersebut, Analis Senior CSA Research Institute, Reza Priyambada, pun ikut angkat bicara.

Menurut Reza, pada dasarnya tidak ada perubahan mendasar yang terjadi pasar perdagangan saham domestik. Kalau pun ada sejumlah peraturan baru, Reza tak sepakat bila hal tersebut dianggap sebagai bukti bahwa pasar modal nasional kini tidak lagi kondusif bagi investor ritel.

"Sebenarnya bukan pasarnya yang berubah jadi tidak kondusif, melainkan para investor baru ini, yang awalnya masuk (ke pasar) atas dasar iseng, coba-coba, akhirnya baru tahu kondisi yang sebenarnya ada di pasar itu seperti apa," ujar Reza, kepada idxchannel.

Reza mengakui bahwa gelombang penambahan investor baru dalam beberapa tahun terakhir mengalami lompatan yang cukup signifikan. Hal tersebut tentu patut disyukuri lantaran berpotensi meningkatkan dinamika dan aktivitas yang terjadi di lantai perdagangan.

Namun, selain soal kuantitas tersebut, Reza juga mengkritisi terkait kualitas investor yang belakangan cukup mendominasi pasar modal dalam negeri.

Menurut Reza, ada sejumlah faktor yang turut berperan dalam mendongkrak minat masyarakat, terutama generasi muda, untuk terjun menjadi investor pasar modal.

"Kita bisa sebut faktor-faktor tersebut, misalnya makin banyak aplikasi yang memudahkan orang dalam berinvestasi. Lalu juga bermunculan artis-artis, influencer, yang sedikit-banyak turut menggiring penggemarnya untuk jadi investor," tutur Reza.

Yang jadi masalah, dalam pandangan Reza, tidak banyak influencer atau public figure tersebut yang berhasil menunjukkan 'wajah sebenarnya' dari kondisi yang terjadi di pasar perdagangan.

"Tentu nggak semua ya. Tapi terkadang mereka ini, yang dibagikan, yang diperlihatkan cenderung yang enak-enaknya doang. Misal dapat cuan gede dari saham A, B atau C. Tapi mereka nggak cerita tuh, hold-nya berapa lama, everaging down berapa kali, sampai akhirnya rebound dan cuan. Lalu dari seluruh portofolio yang mereka punya, berapa yang cuan dan berapa yang cut loss," ungkap Reza.

Belum lagi, lanjut Reza, pada dasarnya setiap fakta, data dan informasi yang ada di pasar saham bisa saja memantik respon yang berbeda bagi masing-masing investor. Misal, dalam menyikapi sebuah berita yang sama tentang sebuah emiten, respon yang dimunculkan masing-masing investor bisa saja tidak sama.

"Itulah kenapa pasar menyebut segala informasi tersebut dengan istilah 'sentimen'. Misal nih, ada berita tentang uji coba misil oleh Israel. Di satu sisi, ada yang melihat itu sebagai ancaman terhadap pasokan pangan dunia. Tapi ada juga yang melihatnya sebagai opportunity terhadap produk besi, baja dan semacamnya, karena perang sudah di depan mata," urai Reza.

Rasional

Dengan serangkaian penjelasan tersebut, Reza mengaku ingin menyampaikan bahwa modal dasar bagi seorang investor adalah kesediaan untuk belajar dan mencari tahu terkait segala sesuatu yang berkaitan dengan saham yang ingin dia koleksi.

Tak hanya itu, seorang investor disebut Reza juga harus menyadari betul bahwa setiap keputusan investasi yang dia ambil memiliki berbagai konsekuensi logis yang harus ditanggung.

Pemahaman atas hal ini, menurut Reza, sangat penting untuk dapat menjaga mental investor untuk dapat tetap tenang dan rasional dalam menjalankan aktivitas investasinya di lantai perdagangan.

Poin inilah yang oleh Reza dinilai sebagai kunci sekaligus pangkal permasalahan atas prasangka bawa kondisi pasar saat ini sudah kurang kondusif bagi investor ritel.

"Terkadang investor-investor baru ini belum begitu paham atas konsekuensi yang harus ditanggung saat berinvestasi di pasar modal. Kemarin-kemarin masih terbawa euforianya, wah berasa keren punya saham biarpun cuma sekian lot. influencer beli (saham) apa, ikut. Jual saham apa, ikut. Nah sekarang sudah saatnya menjadi rasional. Saatnya jadi investor yang bertanggung jawab, yang berkualitas. Tinggal pertanyaannya, kuat atau nggak?" tegas Reza. (TSA)

Halaman : 1 2 3 4 5 6 7
Advertisement
Advertisement