2) alkohol/etanol hasil industri non-khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi berbahan dasar petrokimia ataupun hasil industri fermentasi non-khamr), hukumnya tidak najis dan apabila dipergunakan pada produk non-minuman, hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.
Guru besar IPB University sekaligus auditor senior Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Prof. Dr. Ir. Purwantiningsih M.S., ungkap bahwa penggunaan rum, mirin, angciu, sake, bir, red atau white wine pada berbagai makanan atau masakan hukumnya haram.
“Keharamannya bukan hanya disebabkan oleh kandungan etanolnya yang tinggi, melainkan produk tersebut tergolong khamr. Pemanfaatan khamr dilarang dalam Al-Qur'an seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah, ayat 90. Bentuk sintetik dari produk itu pun tidak dapat disertifikasi oleh MUI,” terangnya.
Selain itu, terkait beeramisu, Halal MUI menyebut ini adalah salah satu contoh makanan yang menggunakan bir. Pada proses pemasakannya, bahan-bahannya dicelupkan atau direndam ke dalam bir sebelum dimasak. Hukum dari makanan tersebut berdasarkan Fatwa MUI masuk kategori haram, meskipun bahan-bahan yang digunakan halal.
Penggunaan dalam Obat
Bagaimana penggunaan etanol dalam industri obat? Secara peruntukannya, obat yang mengandung alkohol berbeda dengan minuman beralkohol. Walaupun diminum, tetapi obat bukanlah minuman. Obat dikonsumsi berdasarkan petunjuk medis dan ada dosis yang dianjurkan. Penggunaan obat dikontrol oleh dokter dan penggunaannya tidak untuk memabukkan.