“Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada Pasal 64 Ayat (2) disebutkan bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia. Artinya, jika total kuota haji kita sebanyak 241.000, maka untuk kuota haji khusus seharusnya hanya memperoleh 19.280," ujarnya.
Selain dinilai offside, Wisnu menyebut Kemenag tidak melibatkan Komisi VIII DPR terkait perubahan alokasi kuota haji yang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan Panja BPIH.
“Tidak pernah ada konsultasi apalagi kesepakatan dengan kami terkait perubahan itu sehingga wajar jika barang tersebut dianggap ilegal,” tuturnya.
Akibat dari keputusan sepihak tersebut, kata dia, membuat sebanyak 8.400 jemaah haji reguler kehilangan haknya untuk bisa menunaikan haji pada tahun 1445H/2024M karena kuotanya diserahkan kepada jemaah haji khusus.
“Jika pemerintah serius untuk mempercepat daftar tunggu antrean jemaah haji reguler, seharusnya sebelum meneken MoU mereka bisa secara proaktif melobi kebijakan alokasi penambahan kuota haji bagi Indonesia dari Arab Saudi agar sesuai dengan hasil rapat panja yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Bukan justru bersikap pasif, seakan tidak berdaya, bahkan terkesan lempar tanggung jawab ke otoritas Arab Saudi saat DPR dan publik mencecar,” ujarnya.
(DES)