Ini semua yang terus kami galakkan, dengan menggandeng sebanyak mungkin pihak, semua stakeholer, seluruh pelaku usaha jasa keuangan, untuk semakin mengecilkan gap, antara kelompok masyarakat yang sudah well educated soal literasi keuangan, dengan sebagian masyarakat kita yang selama ini akses informasinya masih sangat terbatas.
Jadi seruannya, masyarakat kalau mau memakai produk jasa keuangan, harus paham dulu produk apa yang mau dipakai itu. Apa saja keuntungan yang bisa didapat, termasuk apa saja konsekuensi yang harus ditanggung. Bagaimana cara kerja produk itu bisa berjalan. Kalau terjadi masalah, apa yang harus dilakukan. Komplainnya ke mana, ke siapa. Itu semua harus jelas dulu.
Sehingga target kami di OJK, sesuai dengan target yang telah diamanatkan oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo, bahwa tingkat inklusi keuangan di tahun 2024 sudah bisa mencapai 90 persen. Tentu, dengan tingkat inklusi kita maksimalkan terus, maka Pe-eR(pekerjaan rumah-red)nya tingkat literasi juga harus digenjot lebih kuat lagi, paling nggak dua kali lipat, sampai kedua hal ini seimbang.
Q: Bagaimana bentuk nyata dari upaya peningkatan literasi di masyarakat itu? Karena kita tahu selama ini bahasan tentang ekonomi, tentang jasa keuangan, misalkan tentang investasi dan sebagainya itu masih kurang familiar dan bahkan terkesan eksklusif di mata masyarakat luas?
Nah, itu dia. Bagaimana bentuk nyata dari layanan jasa keuangan itu dalam kehidupan sehari-hari, itulah yang kita kenalkan ke masyarakat luas. Jadi jangan sampai ilmu tentang ekonomi, tentang jasa keuangan ini seperti menara gading, yang kesannya jauh banget dalam persepsi masyarakat.
Padahal faktanya, setiap kita transaksi itu, beli sabun cuci, beli beras di toko kelontong, atau berjualan di pasar, itu semua kan praktik dari layanan jasa keuangan juga, yang kadang masyarakat tidak menyadarinya.