Jadi mungkin bagi masyarakat perkotaan, misalnya, di kota-kota besar, bicara produk jasa keuangan itu identik dengan produk asuransi, saham, obligasi dan sebagainya. Sektor keuangan seolah identiknya ke produk perbankan, deposito, produk valas dan sebagainya.
Padahal kalau kita terjun langsung di masyarakat, Mbok-Mbok di pasar basah itu juga perlu pendanaan untuk usaha mikronya lho. Pelaku UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) itu juga perlu edukasi soal neraca keuangan lho, soal bagaimana mengelola arus kas agar uang dari usaha tidak terpakai di konsumsi sehari hari.
Atau kita bicara petani menjual gabah ke tengkulak, itu juga transaksi keuangan lho. Nelayan mencari pinjaman untuk modal beli solar agar bisa melaut dan sebagainya. Dan mereka-mereka ini rawan diintai oleh oknum rentenir, sehingga perlu pendampingan dan edukasi dari kita.
Nah, hal-hal yang seperti ini kita coba sentuh sampai ke level grassroot. Bahkan sampai ke masyarakat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), di daerah perbatasan sana, yang akses informasinya sangat terbatas. Ini semua juga harus tercover oleh program-program edukasi kita.
Tentu, langkah ini kita lakukan dengan juga tetap menjaga aksesibilitas informasi dan edukasi di masyarakat perkotaan juga. Di kalangan mahasiswa, pelajar, atau juga ke ekosistem syariah, dunia pesantren, kelompok ibu-ibu rumah tangga, komunitas anak motor, para pecinta kopi, komunitas musik indie dan sebagainya.