Jadi perlu hati-hati. Waktunya perlu tepat, caranya juga perlu tepat," kata dia. Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyoroti polemik terkait cukai MBDK dalam konteks pemulihan daya beli.
Menurutnya, kebijakan ini memang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula demi kesehatan masyarakat, namun harus diterapkan secara bertahap agar tidak mengganggu industri makanan dan minuman. "Itu memang masih jadi polemik ya. Memang terutama di industri minuman punya implikasi kepada harga makanan dan minuman, sehingga harusnya juga mempertimbangkan kemampuan, masih bisa dibeli lah," kata dia.
Eko juga menekankan kebijakan cukai seharusnya tidak semata-mata untuk menambah penerimaan negara, melainkan lebih berfokus pada pengendalian konsumsi yang berlebihan. Jika gula terbukti berkontribusi terhadap masalah kesehatan seperti diabetes dan obesitas, maka perlu adanya regulasi.
"Namanya cukai itu kan tujuan utamanya untuk pembatasan, bukan penerimaan. Jadi kalau arahnya penerimaan negara, ya itu kurang tepat," kata Eko.
Jika tarif cukai terlalu tinggi sejak awal, dikhawatirkan juga akan mendorong munculnya pasar gelap dan produk ilegal, sebagaimana yang terjadi pada industri hasil tembakau. "Selama ini itu memang kelemahan kebijakan cukai kita itu hanya menyasar pada produk-produk yang sedikit, padahal ketidaksehatan dari produk itu tidak hanya itu," katanya.