Hal yang membedakan jenis batik yang digagas oleh Eka ini adalah dari segi teknik pewarnaan. Secara umum, pola batik yang digarap oleh Eka ini menggunakan metode batik ikat, yang sebenarnya juga telah banyak digunakan di berbagai wilayah di Indonesia.
"Di tempat saya, di Yogya, disebutnya batik jumputan. di Solo, di Palembang, juga sama. Kalau di Banjarmasin disebutnya sasirangan. Nah di sini, saya sengaja kasih nama batik ciwitan, karena bikinnya kan diciwit (dicubit) gitu," tandas Eka.
Langkah memilih metode batik ikat ini sengaja dipilih Eka lantaran tak mudah baginya untuk mengajarkan teknik batik tulis kepada seluruh masyarakat yang menjadi tenaga binaan yang membantunya dalam hal produksi.
Semula, Eka memang telah mengajarkan seluruh proses membatik, mulai dari membuat sketsa, menorehkan lilin menggunakan canting, mewarnai, proses pengeringan hingga tahapan akhir dengan merendam kain untuk meluruhkan lapisan lilin, sekaligus untuk menjaga warna agar menempel permanen dan tidak luntur.
"Cuma ternyata bikin batik tulis itu tidak segampang yang dibayangkan. Ibu-ibu ini kesusahan, karena untuk menggambar aja mereka tidak bisa, apalagi harus membaik pakai canting. Sehingga, metode ciwitan ini menjadi jalan keluar agar semua bisa mengerjakan," urai Eka.