Tentunya, menurut Timboel, syarat mendapatkan JKP yang dituliskan pada Pasal 19 ayat (3) akan cukup sult dicapai oleh pekerja yang terPHK, khususnya bagi pekerja yang berselisih dengan manajemen, dengan menempuh proses perselisihan PHK sesuai UU No. 2 Tahun 2004, yaitu dari proses bipartite, mediasi, PHI hingga MA.
"Saya mau fokus tentang syarat telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK atau pengakhiran hubungan kerja. Syarat ini akan menjadi kendala utama bagi pekerja untuk mendapatkan JKP karena proses perselisihan PHK tersebut. Kenapa?" tuturnya.
Faktanya, ketika masih dalam proses perselisihan PHK, pihak pengusaha sering kali tidak membayar upah pekerja lagi sehingga iuran jaminan sosial Kesehatan (JKN) dan ketenagakerjaan (JKK, JKm, JHT, JP dan JKP) menjadi tertunggak. Bila iuran jaminan sosial ini tertunggak maka mengacu pada Pasal 19 ayat (3) yaitu syarat telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK, dipastikan pekerja tidak mendapatkan JKP.
"Kelakuan pengusaha yang tidak membayar upah proses ketika sedang terjadi perselisihan terjadi karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan," tambahnya.
Sehingga, amanat Pasal 157A UU Cipta Kerja (sebelumnya di Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan) yang memerintahkan pengusaha harus tetap membayarkan upah pekerja sebelum adanya putusan PHK yang berkekuatan hukum tetap, tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.