Sebelumnya, berdasarkan laporan DJS kesehatan, BPJS sempat mengalami defisit sepanjang 2017 hingga 2019. Adapun defisit pada 2019 tercatat mencapai Rp17,4 triliun. Di tahun berikutnya pada 2020 BPJS mencatatkan surplus sebesar Rp45,36 triliun dan pada 2021 surplus sebesar Rp44,45 triliun.
Di lain pihak, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti pada pertengahan 2022 mengatakan terdapat tiga alasan mengapa BPJS Kesehatan tidak dalam kondisi defisit kembali pasca 2019.
Pertama, BPJS Kesehatan telah melakukan langkah untuk penguatan sistem kendali biaya dan mutu, termasuk di dalamnya mengenai deteksi fraud. Kedua, adanya penyesuaian tarif yang telah dilakukan sebelumnya. Ketiga, kondisi Covid-19 yang menyebabkan utilisasi turun, sehingga orang tidak datang ke rumah sakit jika tidak benar-benar membutuhkan.
Kontras, menurut Darmawan, masalah BPJS Kesehatan hari ini sudah tidak lagi pada tarif iuran. Menurutnya, anggaran BPJS selama ini bisa surplus karena adanya bantuan alokasi anggaran Covid-19 yang diatur secara khusus. Dampaknya dapat meringankan beban keuangan BPJS namun hanya bersifat sementara.
Tidak adanya kenaikan INA CBGs sejak 2016 juga menjadi persoalan. Padahal, alat kesehatan dan pengobatan selama ini juga telah terdampak adanya inflasi. Untuk itu, ia mengusulkan agar anggaran kesehatan harus dinaikkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).