Penggunaan dampak ekologis untuk menentukan kerugian negara memang mengundang polemik dan dinilai tidak lazim. Sebelum Agus Joko Pramono, sejumlah pakar mengkritik metode yang digunakan Kejagung.
Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ) Andri Gunawan Wibisana, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.
"Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri dalam keterangan tertulis, Kamis (29/2/2024).
Terpisah, pakar hukum Pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Nella Sumika Putri, mengatakan dalam konteks tipikor atau pidana korupsi, yang berhak menghitung dan menetapkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas permintaan penyidik bisa kejagung, tipikor bareskrim atau KPK.
Sedangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya berwenang melakukan pemeriksaan dan audit sedangkan terkait kerugian negara tetap wewenang konstitusional pada BPK.