IDXChannel - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendorong pemerintahan Presiden Terpilih untuk berani menempuh langkah pengalihan subsidi LPG ukuran 3 kilogram (kg) dengan pembangunan jaringan gas (jargas) kota dan secara bertahap. Tujuannya guna mengurangi alokasi subsidi untuk wilayah yang akan dibangun jaringan gas tersebut.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa atau yang akrab disapa Ifan mengatakan, keberadaan jargas kota akan menjadi solusi terbaik untuk menggantikan subsidi dan biaya dikeluarkan pemerintah untuk mendistribusikan LPG yang mencapai Rp830 triliun.
Ifan menilai, kebijakan saat ini tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam kebijakan jargas. Sementara subsidi LPG akan terus membebani anggaran pemerintah ke depan.
“Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berani dalam mengambil langkah strategis untuk mengganti subsidi LPG menjadi perluasan jaringan gas kota demi menghemat APBN, karena penggunaan subsidi saat ini tidak tepat sasaran," ucap dia dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (7/7).
Ifan menuturkan, pengembangan jargas termasuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) mengacu pada Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2018. Pengembangan jargas juga masuk dalam RPJMN 2020-2024, di mana telah ditetapkan target penggunaan jargas sampai 2024 yang mencapai 4 juta sambungan rumah (SR).
Namun sayang, dia mengakui, realisasi jargas sampai dengan 2024 hanya mencapai 20 persen dari target APBN. Hal ini disebabkan kebijakan monopoli kepada PT Pertamina Gas Negara Tbk atau PGN (PGAS) yang tidak membuka dan berhasil melibatkan BUMD dan swasta untuk melakukan investasi di jargas kota.
"Keterbatasan jaringan pipa gas mengakibatkan konsumen bergantung pada LPG khususnya kemasan 3 kg," ujar Ifan.
Data menunjukkan, konsumsi LPG 3 kg terus meningkat setiap tahun, sementara LPG (non subsidi) stagnan dan cenderung turun dan terindikasi beralih ke LPG bersubsidi.
Tercatat, tingkat konsumsi LPG 3 kg meningkat dari 6,8 juta Metrik Ton (MT) di 2019 menjadi 8,07 juta MT di 2023. Naik 3,3 persen secara rata rata dalam lima tahun terakhir.
Sejalan dengan hal tersebut, biaya subsidi LPG 3 kg terus meningkat (rata rata tumbuh 16 persen selama lima tahun), dari Rp54,1 triliun pada 2019 menjadi Rp117,8 triliun di 2023.
"Tahun ini, terdapat alokasi subsidi LPG sebesar Rp87,5 trilliun. Sehingga sejak 2019, total subsidi yang diberikan pemerintah untuk gas sudah mencapai Rp460,8 triliun," tutur Ifan.
Dengan fakta bahwa mayoritas LPG berasal dari impor, maka dapat diperkirakan total nilai impor LPG selama periode 2019-2023 mencapai Rp288 trilliun.
Dengan membandingkan total biaya subsidi LPG dalam periode yang sama (yakni sebesar Rp373 trilliun), maka rasio biaya impor LPG mencapai 77 persen dari total subsidi LPG.
"Jika digabung dengan subsidi tahun ini, total biaya subsidi dan nilai impor tersebut mencapai Rp833,8 triliun," Ifan memaparkan.
Besaran tersebut sangat signifikan karena mencerminkan devisa yang hilang serta opportunity loss yang subtansial, terutama apabila dapat digunakan untuk pembangunan dan pengembangan jargas kota.
Tanpa ada perubahan signifikan dalam kebijakan jargas, subsidi LPG akan terus membebani anggaran Pemerintah ke depannya.
Sebagai ilustrasi, Ifan mencontohkan, apabila 50 persen dari total akumulasi dana subsidi LPG digunakan untuk pembangunan jargas kota, dengan asumsi satu sambungan rumah (SR) senilai Rp10 juta, maka dapat dibangun 23 juta SR dalam periode lima tahun.
Tidak hanya ini akan melewati target RPJMN, peralihan ini juga akan berdampak signifikan terhadap penurunan impor LPG dan penghematan devisa bagi negara.
Ifan berpendapat, skema jargas dapat dikembalikan lagi ke skema APBN yang pernah dilaksanakan sejak 2011-2019 dan berhasil mencapai sekitar 600 ribu SR. Serta menyetop penggunaan APBN untuk pembangunan pipa transmisi yang tidak ekonomis secara sisi permintaan, seperti Cisem, Dumai-Semangke, atau ruas lainnya.
“Ruas-ruas tersebut berdekatan dengan industri, antara lain Kawasan Industri Kendal, Kilang Batang, Kilang Balongan, dan Kilang Patimban, sehingga dipastikan akan menarik banyak minat investasi BUMN, BUMD, atau swasta untuk pembiayaan pembangunannya. Jadi APBN dapat digunakan pada proyek strategis nasional yang lebih tepat untuk mewujudkan energi berkeadilan," jelas Ifan.
Lebih lanjut, untuk menunjang adopsi penggunaan jargas tersebut, diperlukan kebijakan alokasi gas dari sisi hulu sampai ke distribusi yang transparan oleh Kementrian ESDM.
Dengan kebijakan yang transparan, risiko ketidakpastian pasokan bagi pelaku usaha niaga gas akan berkurang dan pengembangan sektor hilir migas akan makin pesat.
"Pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif fiskal bagi badan usaha yang berminat mengembangkan jaringan pipa gas ke konsumen dengan memberikan prioritas kepada badan usaha niaga gas dan LPG yang telah ada," saran Ifan.
(FAY)