Bahkan, kata dia, luasan lahan mereka melebihi izin usaha perkebunan kelapa sawit dari Kementerian Pertanian.
"Batas maksimal itu 100 ribu hektare per perusahaan atau grup perusahaan. Jika perusahaan melebihi batas, maka hal ini berpotensi membawa permasalahan persaingan usaha terkait penguasaan lahan dan kontrol di sisi hilir produk. Selain itu, ketimpangan semakin tinggi," jelas Marcellina.
Lebih lanjut Nuring meloporkan bahwa berdasarkan data BPS dan Kementerian Pertanian tahun 2019, jumlah perkebunan rakyat mencapai 99,92 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit, namun hanya menguasai 41,35 persen lahan. Sedangkan, jumlah perusahaan perkebunan swasta hanya 0,07 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit tetapi menguasai lahan seluas 54,42 persen.
Lalu, jumlah perusahaan perkebunan negara hanya 0,01 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit dan menguasai lahan sebesar 4,23 persen.
Oleh sebab itu, Nuring menyatakan, pengaturan pembatasan penguasaan lahan berupa HGU/IUP dalam kelompok usaha penting dilakukan. Sebab, tanpa pembatasan akan terjadi ketimpangan perbedaan akses terhadap sumber daya alam (SDA) antara pihak yang kuat berhadapan dengan yang lemah posisi tawarnya.
“Perlu pembatasan pemberian hak guna usaha atau IUP kepada kelompok badan usaha karena penguasaan aset lahan dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi di struktur pasar hulu dan hilirnya,” ucap Nuring. (FHM)