Awalil mengkhawatirkan besaran penarikan utang baru (bruto). Sebab, pembiayaan utang sebesar Rp832,21 triliun adalah nilai neto (setelah dikurangi pelunasan pokok utang), dan pelunasan pokok utang diperkirakan sekitar Rp800 triliun, maka penarikan utang baru bruto pada 2026 akan mencapai Rp1.600 triliun.
Lonjakan ini akan berdampak signifikan pada posisi utang pemerintah. Posisi utang akhir 2024 adalah Rp8.813 triliun. Dengan adanya tambahan utang neto dari APBN 2025 (Rp715,5 triliun) dan APBN 2026 (Rp832,2 triliun).
"Dengan demikian, posisi utang akhir 2026 akan mencapai Rp10.360 triliun," kata Awalil.
Awalil juga menyoroti target kenaikan pendapatan negara sebesar 10,05 persen dari outlook realisasi APBN 2025. Ia menilai target ini terlampau optimistis mengingat kenaikan pendapatan pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertama rata-rata hanya 5,01 persen per tahun, dan outlook 2025 hanya 0,05 persen.
Di sisi belanja, kenaikan sebesar 8,94 persen dibanding outlook APBN 2025 dianggap tidak mencerminkan upaya efisiensi yang sering digaungkan pemerintah belakangan ini. Kenaikan belanja lebih tinggi dibandingkan kenaikan rata-rata dalam beberapa tahun terakhir.
(Dhera Arizona)