IDXChannel - Pusat-pusat perjudian dan penipuan online menjamur di Asia Tenggara, mulai dari Kamboja hingga Myanmar.
Dilansir dari AP pada Minggu (23/11/2025), pusat-pusat perjudian tersebut berawal dari bisnis kasino.
Sebelum pandemi, deretan kasino tersebut menarik para penjudi dari China. Negeri Tirai Bambu tersebut memang melarang perjudian.
Selama pandemi, mengunjungi kasino-kasino tersebut menjadi sulit karena pembatasan perjalanan yang ketat. Menghadapi kekurangan pelanggan, banyak kasino beralih ke aktivitas perjudian dan penipuan online.
Setidaknya 120.000 orang di Myanmar disekap dan dipaksa melakukan penipuan online. Sekitar 100.000 orang dengan nasib serupa berada di Kamboja.
Angka-angka tersebut merupakan perkiraan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pusat-pusat penipuan di Asia Tenggara mengandalkan korban perdagangan manusia yang tertipu iming-iming upah tinggi.
Awalnya, para pekerja berasal dari China dan negara lainnya yang warganya mahir berbahasa Mandarin. Kini, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mencatat para pekerja didatangkan dari seridaknya 56 negara, mulai dari Indonesia hingga Liberia.
Paspor para pekerja disita agar mereka tidak meninggalkan kompleks. Hanya manajer yang sangat senior dan bawahan terpercaya yang dapat memiliki kebebasan bergerak. Pekerja yang tidak berkinerja baik dipukuli atau menghadapi hukuman fisik lainnya.
Meskipun pihak pemerintah mulai menindak tegas pusat-pusat penipuan, terutama melalui penggerebekan, para aktivis mengatakan pelaku-pelaku utama masih bebas. Pusat-pusat penipuan baru terus bermunculan baik di Asia Tenggara maupun di seluruh dunia.
“Jika kita hanya menyelamatkan para korban, dan tidak menangkap pelaku utama, terutama mafia China dan sindikat transnasional tersebut, maka tidak akan ada gunanya,” kata Koordinator Jaringan Masyarakat Sipil untuk Bantuan Korban Perdagangan Manusia Jay Kritiya.
“Mereka bisa mendapatkan lebih banyak korban. Mereka bisa menipu kapan saja,” kata Kritiya yang kerap menyelamatkan pekerja paksa dari kompleks-kompleks penipuan. (Wahyu Dwi Anggoro)