Lanjut dia menyampaikan, barang-barang yang tertahan ini semuanya legal. Hanya saja tidak lengkap dokumennya, tidak ada RIPH. Ombudsman menilai kesalahan ini tidak mutlak dari sisi importir.
Untuk itu, Yeka mengungkapkan Ombudsman akan melakukan uji prosedur terhadap RIPH ini. Baik dari sisi dasar hukum, proses penyusunan hingga bagaimana proses regulasi diundangkan. Apakah sudah memenuhi tahapan sosialisasi, misalnya.
"Kita akan uji kaidah regulasi terkait RIPH ini. Dianalisis berdasarkan 14 komponen dasar pelayanan publik sesuai Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik," terangnya.
Yeka menambahkan, sebenarnya ada tawaran solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kerugian para importir, yakni dengan memberlakukan pemeriksaan di post border. Jika tidak dilengkapi dengan RIPH, maka barang harus disimpan di gudang pelaku usaha.
Pelaku usaha dapat membuat surat pernyataan akan melengkapi dokumen RIPH dan tidak akan mendistribusikannya sampai RIPH terbit. Hal tersebut dapat menghemat miliaran rupiah dari biaya yang muncul akibat tertahan di pelabuhan setempat.
Untuk itu, Ombudsman berharap ada solusi cepat dari Menteri Pertanian mengenai dampak dari Permentan Nomor 5 Tahun 2022.
"Kami sudah melakukan proses klarifikasi dan pemeriksaan mudah-mudahan dalam waktu dekat, kita bisa sampaikan tindakan korektif untuk menyelesaikan laporan masyarakat ini dan juga agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang," tutup Yeka.