IDXChannel - Pemerintah diminta mengkaji ulang batas garis kemiskinan seiring dengan laju inflasi Indonesia yang merangkak naik. Apalagi kenaikan harga-harga di pasaran dipicu oleh kenaikan harga BBM.
“Kemiskinan sudah nampak secara kasat mata di lapangan. Tingginya inflasi sangat terasa di kalangan masyarakat seiring dengan melonjaknya harga-harga bahan pokok," ujar Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati, Kamis (6/10/2022).
Ia menjelaskan, dalam laporan 'East Asia and The Pacific Economic Update October 2022’, Bank Dunia (World Bank) mengubah batas garis kemiskinan, dengan mengacu pada keseimbangan kemampuan berbelanja pada 2017.
Sementara, basis perhitungan yang dipergunakan Bank Dunia sebelumnya adalah keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2011. Dalam basis perhitungan terbaru ini, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari USD1,9 menjadi USD2,15 per kapita per hari.
Dengan asumsi kurs Rp15.216 per dolar AS, maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia adalah Rp32.812 per kapita per hari atau Rp984.360 per kapita per bulan.
“Jika menggunakan standar Bank Dunia, secara otomatis jumlah penduduk miskin di indonesia bertambah 13 juta orang,” kata dia.
Namun, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini menyarankan Indonesia tidak serta merta harus mengacu kepada standar Bank Dunia.
Hal ini dikarenakan BPS telah memiliki standar tersendiri dalam mengukur garis kemiskinan yaitu dengan mengartikan garis kemiskinan sebagai cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). Pada Maret 2022 Garis kemiskinan yang digunakan BPS tercatat Rp505.469,00 per kapita per bulan, dengan komposisi GKM sebesar Rp374.455,00 (74,08 persen) dan GKNM sebesar Rp131.014,00 (25,92 persen).
Terkait dengan Garis Kemiskinan yang ditentukan oleh BPS, Anis menekankan agar indikator-indikator yang digunakan dalam pemetaan hendaknya dirumuskan lebih tajam lagi. Ia mempertanyakan angka Rp505.469,00 per kapita per bulan sebagai batas garis kemiskinan yang dipakai oleh BPS.
“Kita perlu meninjau kembali apakah angka tersebut masih relevan dengan situasi saat ini dimana masyarakat masih terdampak oleh pandemic ditambah dengan inflasi yang sangat tinggi. Mengamati kondisi lapangan, angka Rp505.469,00 per kapita per bulan ini sangat jauh dari memenuhi kebutuhan pokok,” lanjut Anis Byarwati.
Oleh karena itu, Anis menegaskan sangat penting untuk membuat indikator yang tepat terkait garis kemiskinan.
“Kejelasan indicator yang dipakai akan berpengaruh pada regsosek yang akan dilakukan demi tercapainya prinsip tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Jangan sampai secara riil di lapangan seseorang mengalami kemiskinan akan tetapi regsosek tidak memasukannya menjadi masyarakat miskin,” tutup Anis Byarwati.
(DES)