IDXChannel - Krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) swasta menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat.
Salah satunya datang dari Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi yang menyoroti kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia tersebut.
Menurutnya, situasi ini tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan konsekuensi dari kebijakan yang tidak berpihak kepada pelaku usaha swasta dalam sektor distribusi energi.
Fahmy mengungkapkan, perubahan kebijakan terkait masa berlaku izin impor BBM untuk SPBU swasta yang dikeluarkan Bahlil menjadi salah satu penyebab utama krisis ini. Sebelumnya, izin impor berlaku selama satu tahun, namun kini dipersingkat menjadi hanya enam bulan saja.
"Sehingga swasta itu punya waktu yang cukup untuk mengadakan BBM. Proses perizinan di Indonesia itu kan biasanya lama, sehingga sebelum izin keluar, stok swasta sudah habis, maka terjadilah kelangkaan tadi," ujarnya saat dihubungi IDXChannel, Senin (22/9/2025).
Fahmy juga membandingkan kondisi tata kelola distribusi energi di Indonesia dengan negara lain. Dia menyebut kebijakan yang diterapkan pemerintah saat ini mirip dengan praktik monopoli yang umum terjadi di negara-negara terbelakang.
"Saya kira negara-negara maju gitu ya, kecuali negara-negara seperti Afrika, negara-negara terbelakang memang itu dimonopoli. Tata kelola tadi dimonopoli oleh negara gitu ya. Tapi negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, yang saya tahu Australia misalnya, itu banyak pemain dan mereka bersaing secara sehat," kata dia.
Lebih lanjut Fahmy menyebut, Indonesia justru mempersempit ruang gerak pelaku usaha swasta dengan menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya pintu distribusi. Ini, kata dia, merupakan bentuk nyata monopoli yang berdampak buruk bagi iklim investasi di dalam negeri yang pada akhirnya juga akan merugikan masyarakat.
"Ini akan memperburuk investasi. Nah kalau investasi semakin buruk, maka pertumbuhan ekonominya akan terganggu. Target Presiden Prabowo yang menetapkan pertumbuhan ekonominya 8 persen saya kira mustahil itu akan dapat dicapai dengan adanya kebijakan Bahlil," ujarnya.
(Dhera Arizona)