Hadiyadi mengungkapkan, salah satu isu ketenagakerjaan yang selalu menjadi persoalan pelik setiap tahun adalah penetapan Upah Minimum (UM). Penetapan Upah Minimum dengan menggunakan UU 13 tahun 2003 harus didahului oleh survey tripartit (Pemerintah, Pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh), namun tidak ada standardisasi sumber data yang digunakan.
Hal ini menyebabkan penetapan Upah Minimum hanya menjadi bahan negosiasi yang seringkali hasil akhirnya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Penetapan Upah Minimum Berdasarkan UU 13 tahun 2003 selama ini telah menimbulkan disparitas Upah Minimum antar kabupaten/ kota walaupun di wilayah Provinsi yang sama.
Kondisi ini telah disempurnakan melalui UU 11 tahun 2020 j.o PP 36 tahun 2021 yang telah mengamanatkan bahwa data yang digunakan bersumber dari instansi yang berwenang. Dengan demikian proses penetapan Upah Minimum lebih transparan, efisien dan hasilnya menggambarkan kondisi riil yang sesungguhnya.
Proses penetapan UM di seluruh Indonesia pada tahun 2022 telah dihitung berdasarkan formula yang berdasarkan pada PP 36 dan telah berlangsung dengan kondusif. Dengan 2 demikian, penetapan UM tersebut telah memperhatikan disparitas upah antar daerah, tingkat inflasi dan pertumbungan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
“Proyeksi ekonomi dunia di tahun 2023 akan mengalami resesi yang cukup dahsyat sehingga akan memengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor. Hal ini sudah mulai dirasakan pada sektor padat karya seperti industri alas kaki seperti sepatu dan turunannya, garmen dan produk tekstil lainnya. Angka terakhir menunjukan adanya penurunan permintaan secara berturut-turut sebesar 50 persen dan 30 persen, sehingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah tampak jelas di depan mata,” jelasnya.