Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Nurtianto Wisnubroto menambahkan, saat ini para petani tembakau tengah dihantui aturan yang tengah digodok yaitu RPP Kesehatan pasal tembakau. Dalam aturan tersebut, nantinya satu bungkus rokok minimal berisi 20 batang.
“Oleh pemerintah, rokok dianggap masih terlalu murah, apalagi perbandingannya dengan Singapura yang harganya kalau dirupiahkan menjadi sekitar Rp140 ribu. Dengan aturan baru nanti, harga rokok menjadi sekitar Rp45 ribu. Tapi pemerintah lupa, UMR di Singapura itu Rp50 juta, sementara di Indonesia rata-rata hanya Rp2,7 juta. Jauh sekali perbandingannya,” tutur Wisnu.
Pendapat senada juga diungkapkan Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Andreas Hua. Menurutnya, RPP Kesehatan yang menyangkut zat adiktif akan membuat harga rokok semakin tinggi. Hal ini, tentu berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Yang paling terasa dampaknya adalah di industri rokok. Kalau rokok tidak laku, para pekerja akan terkena PHK. Karena itu, FSP RTMM dengan tegas menolak RPP Kesehatan pasal tembakau ini,” kata dia.
Sementara itu, KH. Ubaidillah Shodaqoh, Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menyatakan keresahannya terhadap RPP tersebut karena sudah masuk kategori mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
"Keresahan bersama terkait RPP Kesehatan. Menempatkan perokok seolah olah manusia hina. Tembakau atau rokok itu barang halal, kenapa sampai harrama ma ahallalloh (mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah) terkait tembakau atau rokok? Ini yang tidak benar," tuturnya.
(FRI)