“Kalau INA CBGs dihitung ulang dan lebih menarik, rumah sakit yang belum mungkin akan tertarik. Kalau mereka ikut, ketersediaan rumah sakit akan nambah lagi,” kata Timboel.
Sejauh ini, Timboel mengatakan masih ada beberapa rumah sakit yang tidak menggunakan INA CBGs karena tidak memenuhi standar BPJS Kesehatan. Artinya, rumah sakit tidak melayani pasien BPJS karena memiliki target pasien tersendiri.
Dalam hal ini, tim KPK sempat melakukan kajian pada 2018 bahwa sistem ini berpotensi menimbulkan celah kecurangan pada operational purchasing yang menimbulkan inefisiensi dan fraud.
Pada tahun 2018, tim Direktorat Litbang KPK menemukan terdapat potensi kecurangan pada proses penetapan kelas rumah sakit BPJS, karena rumah sakit tidak memenuhi seluruh ketentuan persyaratan kelas rumah sakit dari segi sarana serta ketersediaan tenaga medis.
Selain itu, selama ini tingginya gap pembayaran tarif antar kelas rumah sakit serta kelas rawat inap memiliki kelemahan dan membuka celah terjadinya kecurangan.
Berdasarkan kajian tim KPK merujuk Peraturan Menteri Kesehatan nomor 76 tahun 2016 tentang tarif INA-CBGs, komponen biaya investasi gedung rumah sakit, jumlah dan gaji staf tanpa adanya rasionalisasi terhadap beban pelayanan, serta biaya operasional tanpa ada acuan yang rasional berkontribusi pada tingginya selisih tarif antar kelas rumah sakit.
Temuan KPK, terutama antara kelas A dengan kelas B mencapai 45,36% untuk rawat inap, serta 44,90% untuk rawat jalan.
Tingginya perbedaan tarif pada kelas rumah sakit dapat menjadi indikasi awal diperlukannya penelaahan lebih lanjut adanya potensi tarif yang terlalu tinggi (over payment) atau tarif yang terlalu rendah (under payment) atas sumber daya yang sepatutnya dikeluarkan oleh rumah sakit kelas tertentu.
Tingginya gap pembayaran tarif antar kelas rumah sakit serta kelas rawat inap inilah yang memiliki kelemahan dan membuka celah terjadinya kecurangan.
Potensi kelebihan bayar jika terjadi pada banyak kasus dan tidak segera terdeteksi juga dapat berkontribusi pada beban operasional anggaran bahkan berpotensi menimbulkan defisit BPJS.
“BPJS Kesehatan dan asosiasi rumah sakit harus bernegosiasi dulu terkait INA CBGs. Hasilnya nanti ditetapkan oleh Menteri Kesehatan,” tambah Timboel.
Persoalan lain, Riset dari LPEM UI (2019) yang dilakukan pada 1.200 peserta PBPU di 3 Depwil BPJS Kesehatan menemukan bahwa 30% peserta PBPU tidak membayar iuran secara rutin disebabkan karena besarnya biaya iuran, banyaknya jumlah anggota keluarga, pendaftaran peserta hanya saat berkunjung ke rumah sakit, serta ketidakstabilan penghasilan karena musim.
Selama ini, BPJS Kesehatan bergantung pada iuran peserta sebagai sumber pemasukan utama yang mencakup 99 persen dari total pemasukan. Beban jaminan kesehatan dan operasional pelaksanaan BPJS kesehatan yang berkisar 105 –120 persen dari pendapatan iuran sehingga defisit tak terhindarkan.
Pendapatan iuran BPJS juga dilaporkan meningkat pada 2021 menjadi 143,32 triliun dibanding Rp139,85 triliun pada 2020. (Lihat tabel di bawah ini.)
Adapun besaran iuran BPJS Kesehatan kelas 1, 2, 3 yang berlaku saat ini adalah:
- Kelas 1: Peserta BPJS Kesehatan wajib membayar iuran sebesar Rp150 ribu per orang per bulan.
- Kelas 2: Peserta BPJS Kesehatan wajib membayar iuran sebesar Rp100 ribu per orang per bulan.
- Kelas 3: Peserta BPJS Kesehatan wajib membayar iuran sebesar Rp35 ribu per orang per bulan. Untuk besaran iuran kelas 3, sebenarnya Rp42 ribu. Akan tetapi, kelas 3 mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp7 ribu, sehingga menjadi Rp35 ribu.
Bagi Timboel, secara keseluruhan, kehadiran KRIS sangat baik karena tidak ada lagi perbedaan kelas bagi peserta BPJS Kesehatan. Tetapi penting mengkaji hal-hal tersebut agar peserta mendapatkan manfaat sesuai dengan yang dibayarkan. (ADF)