“Situasi ini akan lebih tergerus lagi saat dikenakannya sistem multi tarif terendah 5% dan tertinggi 15% yang mengakibatkan pembebanan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai minimal 5%, yang sebelumnya tidak terkena,” ujarnya.
Lanjutnya, belum lagi dengan dampak perbedaan multi tarif PPN tersebut dengan barang yang dijual pada peritel modern. Dimana ini akan berpotensi membangunkan shadow market yang meningkat maupun peningkatan belanja barang diluar negeri yang harganya lebih bersaing.
Dalam hal ini Roy juga meminta pemberlakuan Pajak Penghasilan (PPh) minimal 1% pada pendapatan atau omset kotor atas perusahaan yang berstatus rugi dapat ditangguhkan.
Sebab, kata Roy, PPH minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian. Dimana nantinya memicu langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai, hilangnya investasi hingga yang lebih tragisnya adalah PHK massal.
“Dalam situasi pandemi ini pasti pemerintah akan meneruskan fungsi refocusing dan relokasi APBN dimana salah satu upaya pemerintah mendapatkan income adalah melalui extensifikasi perpajakan selain menambah hutang luar negeri maupun melalui penerbitan SBN/Obligasi negara dan printing money,” katanya.