IDXChannel - "There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure (Hanya ada satu hal yang membuat impian mustahil tercapai: ketakutan terhadap kegagalan)."
Seorang sastrawan terkemuka dunia asal Brazil, Paulo Coelho, sengaja berpesan demikian untuk menegaskan betapa pentingnya sebuah mimpi untuk diperjuangkan agar dapat menjadi kenyataan.
Semangat merawat mimpi tersebut, meski tak secara eksplisit, namun tergambar jelas dalam tekad Asih dan ribuan warga Desa Benteng lainnya, di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
"Memang saat ini (mimpi itu) mungkin masih terlihat mustahil. Tapi kami yakin (mimpi) itu satu saat bisa kita wujudkan, asal dengan tekad yang kuat dan dukungan dari semua pihak," ujar Asih, saat ditemui di Kantor Bank Sampah Desa Benteng, pekan lalu.

Dalam struktur kepengurusan Bank Sampah Desa Benteng, Asih telah dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua di sepanjang lima tahun terakhir.
Dalam perbincangan hangat di sore hari yang teduh, wanita bernama lengkap Sri Asih Wirasatati itu tengah bercerita tentang keinginan warga Desa Benteng untuk dapat mengolah limbah sampahnya menjadi Refuse Derived Fuel (RFD).
Ramah Lingkungan
Sebagai informasi, RFD sendiri merupakan bentuk inovasi terbaru dari bahan bakar alternatif yang diolah dari limbah sampah rumah tangga dan perkotaan.
Saat ini, RFD merupakan salah satu opsi bahan bakar ramah lingkungan yang mulai dilirik oleh industri semen nasional, agar secara bertahap dapat mengurangi ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil.
"Dengan secara bertahap mengubah bahan bakunya dari batu bara ke RFD, maka proses produksi industri semen jadi lebih green dan berkelanjutan. Emisi karbon yang dihasilkan juga lebih bisa ditekan," tutur Asih, dengan antusias.
Jika mimpi tersebut benar-benar bisa terwujud, maka praktis keberadaan Bank Sampah Desa Benteng tidak lagi hanya bisa berkontribusi terhadap pengelolaan sampah warganya sendiri, melainkan juga turut andil dalam ekosistem semen Tanah Air menuju industri hijau (green industry) yang lebih berkelanjutan.

Terkait hal ini, Asih mengaku pihaknya sejauh ini telah mendapat tawaran langsung dari PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), perusahaan semen yang lebih dikenal lewat produksinya, yaitu Semen Tiga Roda.
Rencananya, RFD hasil pasokan dari Bank Sampah Desa Benteng akan digunakan INTP untuk pasokan bahan bakar alternatif di salah satu pabriknya yang ada di Desa Citeureup, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
"Sebenarnya (jaraknya dari Desa Benteng) dekat. Toh kalau pun jadi, pihak Indocement yang akan ambil sampahnya ke sini (Desa Benteng), bukan kita yang kirim ke sana," tutur Asih.
Gudang Timbun
Namun yang jadi kendala, dikatakan Asih, pihak Indocement telah memasang syarat volume sampah minimal yang bisa dikerjasamakan, yaitu paling sedekatnya sebanyak lima ton untuk setiap kali angkut.
Padahal sejauh ini, total kapasitas sampah yang dikelola oleh Bank Sampah Desa Benteng dalam seminggu maksimal sekitar 300-an kilogram.
Artinya, untuk dapat mengumpulkan sampah hingga lima ton seperti yang telah dipersyaratkan oleh Indocement, Asih dan kolega harus menimbun sampah-sampah hasil setoran warga sekitar empat hingga lima bulan, sebelum akhirnya diangkut oleh pihak Indocement.
"Itu artinya, kami perlu gudang tempat menimbun sampah dengan kapasitas yang sangat besar. Ini yang tentu sangat menyulitkan bagi kami," ungkap Asih.
Pasalnya, lantaran berasal dari inisiatif warga, maka keberadaan Bank Sampah Desa Benteng saat ini berada di kawasan pemukiman, dengan lahan terbuka dan wilayah fasilitas umum (fasum) yang sangat terbatas.

Belum lagi, kalau pun pembebasan lahan bisa diupayakan dengan membeli tanah dan rumah milik warga, permasalahan lain soal polusi juga mengintai, mengingat yang bakal ditimbun adalah sampah.
Demi mengurai permasalahan pelik tersebut, Asih mengaku bahwa sejauh ini pihaknya telah berkunjung ke sejumlah Bank Sampah lain yang ada berbagai kota di Indonesia, guna melakukan studi banding.
"Kami sempat belajar ke bank sampah-bank sampah lain di Jogja, Pekalongan, sampai Padang, Bali hingga ke Kalimantan, tapi sejauh ini belum dapat solusi yang pas. Tapi kami tidak menyerah. Pelan-pelan kami coba urai masalahnya, dan inventarisir peluang solusinya. Semoga ada titik terang," tukas Asih.
Daur Ulang Mandiri
Karena impian menyuplai sampahnya ke Indocement sebagai bahan pembuat RFD dirasa masih terjal, maka saat ini Bank Sampah Desa Benteng masih menjalankan operasionalnya seperti biasa, yaitu dengan memilah sampah-sampah yang telah disetor oleh warga.
Dari hasil pemilahan tersebut, sampah-sampah yang sekiranya bisa diolah kembali akan didaur ulang secara mandiri oleh Bank Sampah Desa Benteng. Selain itu, sampah-sampah yang masih memiliki nilai ekonomis juga akan dijual kembali ke pengepul.
"Baru, residu dari itu semua, (sampah) yang sudah tidak bisa diolah lagi, kami akan buang lagi ke (Tempat Pembuangan Sampah/TPS) Galuga," tandas Asih.
Dari proses pengolahan yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini, Asih menjelaskan, pihaknya bisa meraup omzet minimal sekitar Rp2 juta per bulan.
Dari dana tersebut, minimal sebesar 20 persen akan dihitung sebagai pemasukan pengurus untuk membiayai kinerja operasional, sedangkan sisanya maksimal sebesar 80 persen bakal dibayarkan kembali ke nasabah dan dimasukkan ke dalam tabungan sampah milik masing-masing warga yang terdaftar sebagai nasabah Bank Sampah.
Namun demikian, jika saat ini Bank Sampah Desa Benteng terhitung telah sukses dengan mampu menghasilkan omzet hingga jutaan dalam sebulan, Asih menegaskan bahwa capaian tersebut bukan instan, melainkan juga dibangun dengan penuh perjuangan, terutama pada tahun-tahun pertama sejak bank sampah ini didirikan pada Desember 2013 silam.
"Pertama diinisiasi, masih banyak resistensi dari warga, karena merasa kesulitan dalam memilah sampah rumah tangganya. Selain itu, proses mengangkut sampah yang telah disortir untuk dibawa ke sini (bank sampah) itu kan cukup menyusahkan juga," jelas Asih.
Tak hanya itu, pada masa awal beroperasi, masyarakat penabung sampah relatif masih cukup 'kritis' terhadap harga jual yang diterapkan oleh bank sampah.
Jika ternyata harga jual tersebut dirasa terlalu murah, tak sedikit warga yang lebih memilih menjual botol bekas, kertas, kardus dan beragam sampah lainnya ke tukang rongsok keliling.
Dipercaya
Namun, seiring berjalannya waktu, dengan proses sosialisasi yang konsisten dijalankan, berbagai kendala tersebut diklaim Asih perlahan tidak lagi menjadi masalah yang berarti.
"Awal-awal berjalan dulu nasabah suka nanya harga jual(sampah)nya berapa. Kalau lebih rendah dari tukang rongsok, mereka lebih pilih jual ke sana. Tapi itu hanya sekitar satu-dua tahun awal saja. Setelah itu, sudah tidak jadi masalah lagi," ungkap Asih.
Alih-alih mempermasalahkan harga jual, dalam perkembangannya masyarakat disebut Asih justru sudah mulai enggan untuk mengambil uangnya yang telah terkumpul sebagai saldo di tabungan sampahnya.
Jika sebelumnya aturan main yang disepakati adalah saldo tabungan sampah tersebut bakal dibagi setiap setahun sekali bersamaan dengan ulang tahun bank sampah di bulan Desember, sejak 2015 mayoritas warga memilih untuk tidak mengambilnya, dan mempercayakannya saja pada pengurus Bank Sampah.
Di satu sisi, menurut Asih, sikap warga tersebut harus disyukuri karena bisa dimaknai sebagai bentuk kepercayaan terhadap para pengurus Bank Sampah Asri Mandiri.
Dengan terus menitipkan tabungan sampahnya, maka dapat disimpulkan bahwa sejauh ini kinerja pengurus telah diapresiasi dan dianggap memang layak dipercaya.
"Cuma kan risiko juga bagi kami untuk menyimpan dana sebesar itu, karena itu kan amanah. Nah sejak 2019, masalah ini teratasi dengan kami bekerja sama menjadi binaan PT Pegadaian (Persero)," papar wanita berhijab tersebut.
Dengan telah menjadi binaan PT Pegadaian (Persero), yang juga merupakan entitas anak usaha dari Bank BRI, Bank Sampah Asri Mandiri kini menawarkan bentuk tabungan emas, di mana setiap rupiah yang didapat warga dari menabung sampah, nantinya dikonversikan dalam bentuk kepemilikan emas.
Dengan cara seperti itu, Asih menjelaskan pengurus bank sampah menjadi lebih diuntungkan karena tidak harus menyimpan dana milik masyarakat dalam jumlah banyak. Seluruh uang itu dikonversikan ke dalam kepemilikan emas, yang bentuk fisik emasnya baru akan diberikan oleh pihak Pegadaian saat si nasabah memilih untuk mencairkan emas miliknya tersebut.
Tak hanya pengurus, masyarakat sebagai nasabah bank sampah diklaim Asih juga menyambut skema ini dengan suka cita, karena seolah bisa 'mengubah' sampahnya di rumah menjadi emas.
"Hampir seluruh nasabah kami, di dua kelurahan, dan juga nasabah-nasabah dari daerah lain, semuanya kini lebih memilih tabungan emas ketimbang tabungan biasa. Walau pun masih ada sedikit nasabah yang masih pilih pakai tabungan biasa, karena butuh dana cash untuk menutup kebutuhan sehari-harinya," urai Asih.
Desa Brilian
Selain menjadi binaan PT Pegadaian (Persero), dukungan BRI Group juga dirasakan oleh Bank Sampah Desa Benteng melalui perantara Desa Wisata Benteng, yang pada 2022 sukses menjadi salah satu dari lima pemenang Program Pendampingan Desa BRILian, yang digelar oleh Bank BRI.
Atas kemenangan tersebut, Desa Wisata Benteng pun berhak menerima dana hibah sebesar Rp1 miliar, yang dibagi pada seluruh unit kegiatan di bawah naungannya, termasuk juga Bank Sampah Asri Mandiri, dalam bentuk pengadaan sarana-prasarana penunjang kegiatan.
"Alhamdulillah, (dana hibah Desa BRILian) sangat membantu dalam hal melengkapi segala peralatan operasional. Untuk perbaikan kantor juga, sehingga kinerja lebih bagus. Nasabah saat menyetor sampah ke sini juga jadi lebih nyaman," ujar Asih.
Tak hanya itu, sumbangsih Pegadaian dan juga Bank BRI melalui perantara Desa BRILian juga dirasakan dalam bentuk bantuan pengadaan armada motor bak yang digunakan untuk menjemput langsung sampah-sampah dari rumah nasabah.
Dengan demikian, para nasabah tidak perlu lagi repot-repot menyetor ke bank sampah dan justru petugas Bank Sampah yang akan mengambil sampah-sampah tersebut langsung ke rumah nasabah.

Sejak saat itu, dengan segala kepraktisan dan manfaat ekonomi yang didapat, jumlah nasabah Bank Sampah Asri Mandiri pun melonjak drastis, mulai dari warga RW tetangga, desa sebelah, hingga kecamatan-kecamatan lain di sekitar kawasan Ciampea.
Palugada
Di luar itu, dengan berbekal berbagai pelatihan dan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar melalui Desa BRILian, Asih dan para pengurus Bank Sampah tak berhenti untuk terus berupaya agar bisa merangkul sebanyak mungkin warga Desa Benteng ke dalam jejaring nasabah Bank Sampah.
Salah satunya, inovasi yang digagas untuk mengakomodasi sebagian warga yang sudah tidak ingin berorientasi pada keuntungan, Asih dan kolega juga menyediakan kotak-kotak penampungan untuk sedekah sampah.
"Jadi kita wadahi juga warga yang mau agar uang dari sampahnya itu untuk disedekahkan. Biasanya tiap bulan uang dari penjualan sampah kami salurkan ke DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) Desa Benteng. Bahkan warga yang non muslim juga banyak yang masukkan sampah botol plastiknya ke kotak sedekah sampah kita," papar Asih.
Dengan semakin banyak menyediakan layanan tersebut, Asih berharap keberadaan Bank Sampah dapat mengakomodir segala macam keinginan dari masyarakat, mulai yang ingin mendapatkan keuntungan dana tunai lewat tabungan sampah, berinvestasi lewat tabungan emas dari sampah, sampai juga yang ingin bersedekah lewat kotak sedekah sampah. Dalam bahasa Betawi, istilahnya Palugada, yaitu 'apa lu mau gua ada'.
Dengan demikian, Asih berharap tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk tidak ikut mendukung gerakan bank sampah ini. Dengan begitu, secara tidak langsung Bank Sampah Desa Benteng turut berperan dalam menjaga lingkungan, sekaligus juga meningkatkan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
"Semoga (upaya) ini, selain juga sebagai tabungan yang dapat membantu meningkatkan ekonomi, juga jadi 'tabungan' kami para pengurus untuk memberikan warisan yang baik untuk masa depan. Gerakan yang baik, kebiasan yang baik, dan tentunya bumi yang semoga bisa terus nyaman untuk ditempati, sampai anak-cucu nanti," tegas Asih.
Tempat Belajar
Peran dan kiprah Bank Sampah Desa Benteng selama ini juga diakui sepenuhnya oleh Ketua Desa Wisata Benteng, Wahyu Syarief Hidayat.
Sebagai lembaga yang menaungi kegiatan bank sampah di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Wahyu mengaku salut atas semangat dan komitmen para pengurus Bank Sampah Desa Benteng, sehingga dapat memberikan dampak positif secara maksimal bagi masyarakat Benteng.
"Mereka ini, saya akui, dedikasinya luar biasa. Sejak 2013 lalu berjuang secara mandiri, sama sekali tidak ada bantuan dari desa, dari mana-mana, mereka gotong-royong sendiri hingga sampai sebesar sekarang," ujar Wahyu, saat dihubungi terpisah.
Karenanya, menurut Wahyu, tak sedikit pihak-pihak lain yang datang berkunjung, mulai dari yang hanya ingin tahu, belajar lebih dalam dan bahkan secara khusus ingin mendapat mentoring dari Bank Sampah Desa Benteng untuk juga dapat membangun gerakan sejenis di wilayahnya.
"Sebagai bagian dari Desa Wisata Benteng, banyak dari pelajar, mahasiswa atau kelompok pecinta lingkungan yang datang untuk belajar ke Bank Sampah kita ini. Lalu juga para pengurus desa lain, bahkan dari kota-kota lain, datang berguru ke Bu Asih tentang bagaimana caranya menginisiasi bank sampah agar sukses seperti di Benteng ini," tutur Wahyu.

Selain mengajari pihak lain, dikatakan Wahyu, Asih dan para pengurus Bank Sampah Asri Mandiri juga secara aktif terus meningkatkan kemampuan dengan mengikuti berbagai pelatihan tentang pengelolaan bank sampah yang diselenggarakan oleh berbagai pihak.
Bahkan, guna sekaligus refreshing, para pengurus Bank Sampah Asri Mandiri juga secara rutin tiap tahun melakukan kunjungan ke bank sampah di kota-kota lain, untuk dapat studi banding sekaligus melihat langkah-langkah pengembangan yang bisa dilakukan selanjutnya.
Termasuk, Wahyu juga mengaku telah mendengar inovasi sekaligus tekad Bank Sampah Desa Benteng untuk dapat menyuplai sampah ke Indocement sebagai bahan dari bahan bakar alternatif dalam proses produksi semen.
"Saya juga sudah dengar tentang mereka yang sedang memutar otak, mencari solusi, untuk dapat mengejar target stok sampai hingga lima kilo untuk bekerja sama dengan Indocement. Ini tentu challenge baru buat Bu Asih dan teman-teman di Bank Sampah. Memang sulit. Tapi saya yakin mereka bisa mencari jalan keluarnya," tegas Wahyu. (TSA)