IDXChannel - Saat ini, kondisi perbankan nasional dalam kondisi stabil didukung dengan likuditas yang sangat ample. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan bahwa hal itu terlihat dari alat likuid yang dalam tren meningkat.
“Saat ini, likuiditas perbankan yang tersedia mencapai Rp2.219 triliun, diantaranya jumlah SBN Rp1,404 Triliun dan Penempatan pada BI sebesar Rp554 triliun. Kemudian, DPK tumbuh cukup tinggi yakni 10,57% dan LDR juga berada di level rendah di 82,5%,” ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso secara virtual, Rabu (24/3/2021).
Selain itu, kondisi permodalan perbankan juga berada di level yang solid (CAR: 24,5%) dengan tingkat risiko kredit yang terjaga (NPL gross Jan-21: 3,17%, Des-20: 3,06%).
“Mulai pulihnya ekonomi berdampak pada perbaikan pertumbuhan kredit walaupun masih di zona kontraksi terutama pada kredit modal kerja,” jelasnya.
Penurunan pertumbuhan kredit disebabkan oleh pelunasan yang dilakukan oleh debitur korporasi yang masih menahan laju ekspansinya pada awal tahun. Hal ini terlihat pada undisbursed loan yang selalu meningkat di awal tahun.
Kemudian, penyaluran kredit oleh kelompok BPD dan Bank BUMN masih konsisten mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 5,68% (yoy) dan 1,45% (yoy) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan kredit masih didorong dari daerah dan beberapa penyelesaian proyek pemerintah.
“Selain itu, sinyal pemulihan mulai terlihat dari meningkatnya external demand yang mendorong pertumbuhan kredit ekspor sebesar 11,93% (yoy),” pungkasnya.
Sementara itu, di tengah kinerja sektor riil yang tertekan, sebagian masyarakat cenderung menempatkan ekses dananya di perbankan dan sebagian lainnya menginvestasikan ekses dananya di pasar modal.
“Imbasnya, DPK tumbuh tinggi (10,57%) termasuk bagi nasabah korporasi, lantaran belum pulihnya perekonomian ke titik semula mengakibatkan nasabah korporasi menahan laju ekspansi usahanya (kredit korporasi turun 3,2%),” tandas Wimboh.
Dengan kondisi seperti itu, korporasi besar masih mampu menggunakan dana dari kapasitas internalnya (self financing) untuk melakukan aktivitas bisnisnya ketimbang menggunakan kredit sebagaimana di masa pra-pandemi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan kredit korporasi yang terkontraksi paling dalam (korporasi -3,2%, UMKM -1,7%, konsumsi -1%).
(SANDY)