sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Impor KRL Bekas Tak Direstui, Pengamat: Pemerintah Harusnya Cermat Melihat Okupansi

Economics editor Heri Purnomo
06/04/2023 15:25 WIB
Rekomendasi pemerintah untuk tidak mengimpor Kereta Rel Listrik (KRL) bekas dari Jepang yang direncanakan oleh PT KCI dinilai tidak tepat.
Impor KRL Bekas Tak Direstui, Pengamat: Pemerintah Harusnya Cermat Melihat Okupansi. (Foto MNC Media)
Impor KRL Bekas Tak Direstui, Pengamat: Pemerintah Harusnya Cermat Melihat Okupansi. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Rekomendasi pemerintah untuk tidak mengimpor Kereta Rel Listrik (KRL) bekas dari Jepang yang direncanakan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) dinilai tidak tepat. Sebab, sikap pemerintah tersebut dianggap tidak memikirkan kepentingan rakyat.

"Indonesia itu banyak orang pandai tapi punya kebijakan tidak cerdas," kata Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno kepada wartawan saat dihubungi, Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Djoko menuturkan, sikap pemerintah tersebut sangat berbeda jauh dengan kebijakan terkait kendaraan listrik. Pemerintah akan melakukan kebijakan tersebut dengan cepat.

Dia pun menyinggung mengapa persoalan impor KRL ini baru dibicarakan beberapa waktu terakhir. Sebab, kebijakan ini sebenarnya sudah dibicarakan sejak enam bulan lalu.

"Mereka itu enggak paham soal ini. Usulan (impor KRL) itu sudah lama kenapa baru dibahas sekarang. Itu karena enggak ada cuannya, berbeda dengan urusan kendaraan listrik," katanya. 

Terkait dengan hasil review dari BPKP yang menyatakan jumlah armada KRL yang ada saat ini masih dapat memenuhi okupansi dari penumpang KRL, Djoko mengatakan, pemerintah tidak cermat dalam melihat situasi di lapangan.

"Dia tidak cermat melihat okupansi, harusnya dia lihat jam berapa sibuk dan tidak sibuk, ditambah saat ini rangkaian KRL kebanyakan delapan rangkaian (gerbong)," katanya. 

Untuk diketahui, hasil audit impor kereta rel listrik (KRL) bekas Jepang oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah keluar. Dari hasil review tersebut dinyatakan tidak direkomendasikan untuk dilakukan impor KRL bekas dari Jepang. 

Hal itu diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi, Septian Hario Seto dalam konfrensi pers di Jakarta, Kamis (6/4/2023). 

"Dari hasil review BPKP sudah cukup jelas dan kita mengacu kepada hasil review tersebut. Saat ini tidak direkomendasikan untuk melakukan impor," kata Seto. 

Seto menjelaskan, terdapat ada empat hal yang menjadi kesimpulan dari hasil review yang dilakukan oleh BPKP. Pertama yakni rencana impor KRL bekas dari Jepang tidak mendukung pengembangan industri perkeretaapian nasional. 

Hal itu sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. 175 tahun 2015 tentang standar spesifikasi teknis kereceta kecepatan normal dengan penggerak sendiri termasuk KRL harus spekiskasi teknis salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri. 

Dia juga menjelaskan, Kementerian Perdagangan telah menanggapi tekrkati dengan impor KRL dalam keadaan tidak baru yang menyatakan bahwa permohonan dispensasi ini tidak sapat dipertimbangkan karena fokus Pemerintah adalah pada peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor melalui P3DN.

Kedua, KRL bukan baru yang akan diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor sesuai PP 29 tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kebijakan dan Pengaturan Impor.

"Dalam PP tersebut menyatakan bahwa barang modal bukan  baru yang eblum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pegembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali," katanya. 

Seto juga menjelaskan, dalam review tersebut BPKP menjelaskan beberapa alasan teknik terkait dengan alasan impor yang diajukan oleh PT KCI ini kurang tepat. Hal tersebut karena karena ada beberapa unit sarana yang bisa dioptimalkan untuk penggunaannya. 

Keempat yakni hasil BPKP menyatakan jumlah KRL yang beroperasi saat ini adalah 1.114 unit, tidak termasuk 48 unit yang diberhentikan dan 63 yang dikonversasi sementara. 

"Overload memang terjadi pada jam-jam sibuk. Namun secara keseluruhan untuk okupansi 2023 itu adalah 62,75 persen, 2024 diperkirakan maaih 79 persen dan 2025 sebanyak 83 persen," katanya. 

"BPKP juga membandingkan pada 2019, jumlah armada yang siap guna sebanyak 1.078 unit yang mampu melayani 336,3 juta penumpang. Sedangkan di 2023 ini dengan jumlah penumpang diperkirakan 273,6 juta penumpang dengan jumlah armada 1.114 unit. Jadi 2023 jumlah armada lebih banyak tapi estimasi penumpangnya tetap jauh lebih sedikit dari 2019," tambahnya. 

(YNA)

Halaman : 1 2 3 4 5
Advertisement
Advertisement