Sektor fintech lending alias pinjaman online (pinjol) menjadi sektor dengan pendapatan terbesar, yakni USD19 miliar atau setara Rp 295,05 triliun atau 63,3 persen dari total pendapatan layanan keuangan digital di Asia Tenggara. (Lihat grafik di bawah ini.)
"Sektor pinjaman merupakan kontributor terbesar terhadap pendapatan layanan keuangan digital, dan pendapatan kotor (terutama dari pendapatan bunga dan biaya) telah meningkat tajam karena tingginya suku bunga pinjaman," kata Google, Temasek, dan Bain & Company dalam laporannya.
Jeratan Pinjol Bermasalah dan Judi Online Sengsarakan ‘Wong Cilik’
Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya melek literasi keuangan, pinjol dan judi online menjadi momok yang menakutkan dan berdampak merusak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Pada September 2023, jagad maya dihebohkan kasus viral dugaan bunuh diri nasabah PT Pembiayaan Digital Indonesia (AdaKami) akibat jeratan pinjol.
Dalam video yang beredar di media sosial, nasabah tersebut disebut tak kuat lantaran mendapatkan teror dari debt collector (DC) AdaKami saat menagih tunggakan utangnya.
Meski Asosiasi Fintech menyatakan berita ini kabar bohong, pihak AdaKami mengakui adanya pelanggaran yang dilakukan oknum DC saat menagih nasabah dan menindak oknum DC dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tak hanya dari sisi nasabah, banyak juga perusahaan fintech alias penyalur pinjol yang berkinerja buruk sepanjang tahun ini.
Sebut saja kasus gagal bayar Tanifund hingga gugatan ke iGrow. Anak perusahaan TaniHub Group, TaniFund yang mana sudah terjadi sejak Desember 2022. Kala itu, sebanyak 128 korban gagal bayar TaniFund menagih dana senilai Rp14 miliar untuk dikembalikan oleh platform layanan pendanaan bersama berbasis P2P lending tersebut.
Bahkan, dua nama perusahaan fintech tersebut masuk ke dalam jajaran penyalur pinjol dengan rasio TKB90 bermasalah di bawah 90 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sementara, untuk kasus judi online, jerat judi online bahkan menyasar masyarakat dengan profesi yang memiliki penghasilan rendah.
"Sesuatu yang meresahkan, karena memang orang-orang yang terlibat di dalam judi ini khususnya judi online banyak ibu rumah tangga, anak-anak sekolah dasar," jelas Kepala Biro Humas PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan), Natsir Kongah, dikutip dari kanal Youtube Trijaya FM.
Dalam laporan PPATK, ada 2.190.447 masyarakat melakukan pertaruhan dengan nominal di bawah Rp 100 ribu dan masuk golongan warga dengan penghasilan rendah. Profil masyarakat itu mulai dari pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, hingga pegawai swasta.
Natsir menjelaskan penghasilan di bawah Rp100 ribu dipilih mereka untuk judi online. Mereka mengorbankan pendapatan bahkan membuat banyak rumah tangga hancur karena perilaku tersebut.
"Harusnya bisa memenuhi menu dasar dari keluarga, beli susu anak. Tapi uang Rp100 ribu dipakai judi," ujar Natsir.
Hal yang lebih ironis, judi online ini bahkan disponsori oleh para publik figur yang seringkali menjadi panutan masyarakat kelas bawah.
Untuk itu, pemerintah melalui OJK dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), industri perbankan, serta lembaga terkait lainnya perlu bekerja lebih keras mendorong upaya memberantas kejahatan judi online. (ADF)