IDXChannel - Presiden Prabowo Subianto mengguncang dunia lewat pidato perdananya selama kurang lebih 19 menit di Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, pada Selasa (23/9/2025). Apalagi, ini pertama kalinya Indonesia kembali di panggung PBB setelah satu dekade absen.
Prabowo berbicara pada sesi pertama Debat Umum dengan posisi istimewa yakni urutan ketiga. Sebuah posisi strategis yang menempatkan Indonesia berdampingan dengan dua negara besar, Brasil dan Amerika Serikat.
Brasil, yang sejak 1955 selalu membuka sidang sebagai tradisi diplomatik, tampil di urutan pertama. Amerika Serikat, sebagai tuan rumah, mendapat giliran kedua. Tepat setelah keduanya, Prabowo berdiri membawa suara Indonesia ke hadapan dunia.
Posisi pidato Prabowo juga menorehkan sejarah tersendiri. Sebelumnya, Presiden Soekarno pernah berpidato di urutan ke-46, Presiden Soeharto di urutan ke-61, dan Presiden Megawati Soekarnoputri di urutan ke-17.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat tiga kali berpidato dengan urutan 20, 21, dan 16, sementara Presiden Joko Widodo dua kali hadir secara daring di urutan ke-16.
Kini, Prabowo menempati urutan ke-3, salah satu posisi paling awal dan paling bergengsi yang pernah diraih Indonesia di forum PBB.
Di hadapan para pemimpin dunia yang hadir di ruang sidang Majelis Umum PBB, Prabowo membuka pidato perdananya dengan penuh penghormatan. Kepala Negara menekankan pentingnya persaudaraan universal di tengah perbedaan bangsa dan agama.
“Sungguh suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di General Assembly Hall yang agung ini, di antara para pemimpin yang mewakili hampir seluruh umat manusia. Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama sebagai satu keluarga. Kita di sini pertama dan terutama sebagai sesama manusia, masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan,” ujarnya.
Berikut isi pidato lengkap Presiden Prabowo di Sidang Umum ke-80 PBB:
His Excellency Mr. Antoni Guterres, Secretary General of the United Nations;
(Yang Mulia, Bapak Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Her Excellency Madam Annalena Baerbock, President of the United Nations General Assembly;
(Yang Mulia, Ibu Annalena Baerbock, Presiden Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa)
His Excellency Mr. Movses Abelian, Under-Secretary-General for General Assembly and Management;
(Yang Mulia, Bapak Morses Abelian, Wakil Sekretaris Jenderal untuk Sidang Umum dan Manajemen)
Excellencies, Head of States, Head of Governments, Distinguished Delegates; Ladies and Gentlemen.
(Yang Mulia, Para Kepala Negara, Para Kepala Pemerintahan, Para Delegasi yang terhormat, Hadirin sekalian)
It is indeed a great honor to stand in this august General Assembly Hall, among leaders and representatives who represent almost all of humanity. We differ in race, religion, and nationality, yet we gather together today as one human family.
(Merupakan suatu kehormatan besar untuk berdiri di Aula Sidang Umum yang agung ini, di antara para pemimpin yang mewakili hampir seluruh umat manusia. Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul sebagai satu keluarga manusia.)
We are here first and foremost as fellow human beings — each created equal, endowed with unalienable rights to life, liberty, and the pursuit of happiness.
(Kita di sini pertama dan terutama sebagai sesama manusia — masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak yang tak terelakkan untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.)
The words of the United Nations Declaration of Independence have inspired democratic movements across continents — including the French Revolution, the Russian Revolution, the Mexican Revolution, the Chinese Revolution, and Indonesia’s own struggle and journey to freedom. It also gave birth to the Universal Declaration of Human Rights adopted by United Nations in 1948. “All men are created equal” was the creed that opened the way to unprecedented global prosperity and dignity.
(Kata-kata dalam Deklarasi Kemerdekaan AS telah menginspirasi gerakan-gerakan demokrasi di berbagai benua — termasuk Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Meksiko, Revolusi China, dan perjuangan serta perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Deklarasi ini juga melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1948. "Semua manusia diciptakan setara" adalah kredo yang membuka jalan menuju kemakmuran dan martabat global yang belum pernah terjadi sebelumnya.)
And yet, in our own era of scientific and technological triumphs — an era capable of ending hunger, poverty, and environmental ruin — we also continue to face today grave dangerous challenges and uncertainties. Human folly, fueled by fear, racism, hatred, oppression, and apartheid, threatens our common future.
(Namun, di era kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita sendiri — era yang mampu mengakhiri kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan — kita juga terus menghadapi bahaya, tantangan, dan ketidakpastian yang serius saat ini. Kebodohan manusia, yang dipicu oleh rasa takut, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid, mengancam masa depan kita bersama.)
My country knows this pain. For centuries, Indonesians lived under colonial domination, oppression, and slavery. We were treated less than dogs in our own homeland. We Indonesians know what it means to be denied justice and what it means to live in apartheid, to live in poverty, and to be denied equal opportunity. We also knew what solidarity can do. In our struggle for independence, in our fight to overcome hunger, disease, and poverty, the United Nations stood with Indonesia and gave us vital assistance.
(Negara saya merasakan kepedihan ini. Selama berabad-abad, bangsa Indonesia hidup di bawah dominasi kolonial, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih rendah daripada anjing di tanah air kami sendiri. Kami, bangsa Indonesia, tahu apa artinya diabaikan keadilan dan apa artinya hidup dalam apartheid, hidup dalam kemiskinan, dan diabaikan kesempatan yang setara.)
Decisions made here based on human solidarity — by the Security Council and this Assembly — gave Indonesia independence international legitimacy, opened doors, and supported our early development through the efforts of UN Children’s Fund (UNICEF), the UN Food and Agriculture Organization (FAO), the World Health Organization (WHO) and many many other UN institutions. And because of that, Indonesia today stands on the cusp of shared prosperity and greater equality and dignity.
(Kami juga tahu apa yang dapat dilakukan oleh solidaritas. Dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan, dalam perjuangan kami untuk mengatasi kelaparan, penyakit, dan kemiskinan, Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri bersama Indonesia dan memberi kami bantuan penting. Keputusan yang dibuat di sini berdasarkan solidaritas kemanusiaan — oleh Dewan Keamanan dan Majelis ini — memberi Indonesia legitimasi internasional, membuka pintu, dan mendukung perkembangan awal kami melalui Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan banyak lagi lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya. Dan karena itu, Indonesia saat ini berada di ambang kemakmuran bersama dan kesetaraan serta martabat yang lebih besar.)
Madam President, excellencies,
(Ibu Presiden, Yang Mulia,)
Our world is driven by conflict, injustice, and deepening uncertainty. Everyday we witness suffering, genocide, and a blatant disregard for international law and human decency. In the face of these challenges, we must not give up.
(Dunia kita digerakkan oleh konflik, ketidakadilan, dan ketidakpastian yang semakin dalam. Setiap hari kita menyaksikan penderitaan, genosida, dan pengabaian terang-terangan terhadap hukum internasional dan kepatutan manusia. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, kita tidak boleh menyerah.)
As the United Nations Secretary General said, we cannot give up. We cannot surrender our hopes or our ideals. We must draw closer, not drift further apart. Together we must strive to achieve our hopes, our dreams. The United Nations was born from the ashes of the Second World War that claimed scores of millions of lives. It was created to secure peace, security, justice, and freedom for all. We remain committed to internationalism, to multilateralism, and to every effort that strengthens this great institution.
(Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, "kita tidak boleh menyerah". Kita tidak boleh menyerahkan harapan atau cita-cita kita. Kita harus semakin dekat, bukan semakin menjauh. Bersama-sama kita harus berjuang untuk mencapai harapan dan impian kita. PBB lahir dari abu Perang Dunia Kedua yang merenggut jutaan nyawa. PBB dibentuk untuk menjamin perdamaian, keamanan, keadilan, dan kebebasan bagi semua. Kami tetap berkomitmen pada internasionalisme, multilateralisme, dan pada setiap upaya yang memperkuat lembaga besar ini.)
Today, Indonesia is nearer than ever before to meeting the Sustainable Development Goals of ending extreme poverty and hunger — because years ago this very chamber chose to listen and uphold social and economic justice. We will never forget. And, today we must never be silent while Palestinians are denied that same justice and legitimacy in this very Hall.
(Saat ini, Indonesia semakin dekat dari sebelumnya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam mengakhiri kemiskinan dan kelaparan ekstrem — karena bertahun-tahun yang lalu, majelis ini memilih untuk mendengarkan dan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Kita tidak akan pernah lupa. Dan hari ini, kita tidak boleh diam sementara rakyat Palestina dirampas keadilan dan legitimasi yang sama di Aula ini.)
Excellencies,
Thucydides warned: “The strong do what they can, the weak suffer what they must.” We must reject this doctrine. The United Nations exists to reject this doctrine. We must stand for all: the strong and the weak. Might cannot be right, right must be right.
(Yang Mulia, Thucydides memperingatkan: "Yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menanggung apa yang harus mereka tanggung." Kita harus menolak doktrin ini. PBB hadir untuk menolak doktrin ini. Kita harus membela semua, baik yang kuat maupun yang lemah. Yang benar tidak bisa menjadi benar. Yang benar harus menjadi benar.)
Indonesia today is one of the largest contributors to United Nations peacekeeping forces. We believe in the United Nations. We will continue to serve where peace needs guardians — not with just words, but with boots on the ground. If and when the United Nations Security Council and this Great Assembly decide, Indonesia is prepared to deploy 20,000 or even more of our sons and daughters to help secure peace in Gaza or elsewhere. In Ukraine, in Sudan, in Libya, everywhere when peace needs to be enforced, peace needs to be guarded. We are ready. We will take our share of the burden, not only with our sons and daughters, we are also willing to contribute financially to support the great mission to achieve peace by the United Nations.
(Indonesia saat ini merupakan salah satu penyumbang terbesar Pasukan Penjaga Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami percaya pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, kami akan terus mengabdi di mana perdamaian membutuhkan penjaga — bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan pasukan di lapangan. Jika dan ketika Dewan Keamanan dan Majelis Agung ini memutuskan, Indonesia siap mengerahkan 20.000 atau bahkan lebih putra-putri kami untuk mengamankan perdamaian di Gaza atau di tempat lain, di Ukraina, di Sudan, di Libya, di mana pun perdamaian perlu ditegakkan, perdamaian perlu dijaga, kami siap. Kami akan memikul beban ini, tidak hanya dengan putra-putri kami. Kami juga bersedia berkontribusi secara finansial untuk mendukung misi besar Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencapai perdamaian.)
Madam President, excellencies,
I propose to this assembly a message of hope and optimism — grounded in action and execution. Today, we heard the speech of Madam President, the President of the United Nations General Assembly. Yes, it is true what she said. Without the international civil aviation organization, will we be here today? Will we sit in this Great Hall? Without the United Nations, we cannot be safe. No country can feel secure. We need the United Nations and Indonesia will continue to support the United Nations. Even though we still struggle, but we know the world needs a strong United Nations.
(Ibu Presiden, Yang Mulia, saya menyampaikan kepada majelis ini sebuah pesan harapan dan optimisme — yang didasarkan pada tindakan dan pelaksanaan. Hari ini kita mendengarkan pidato Ibu Presiden, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Benar apa yang beliau katakan. Tanpa Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, akankah kita berada di sini hari ini? Akankah kita duduk di aula yang megah ini? Tanpa Perserikatan Bangsa-Bangsa, kita tidak akan aman. Tidak ada negara yang dapat merasa aman. Kita membutuhkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Indonesia akan terus mendukung Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meskipun kita masih berjuang, kita tahu dunia membutuhkan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kuat.)
The world’s population is growing. Our planet is under strain. Food, energy, and water insecurity haunt many nations. We choose to answer these challenges directly at home and to help abroad whenever we can.
(Populasi dunia terus bertambah. Planet kita sedang berada di bawah tekanan. Ketidakamanan pangan, energi, dan air menghantui banyak negara. Kita memilih untuk menjawab tantangan ini secara langsung di dalam negeri dan membantu di luar negeri kapan pun kita bisa.)
This year, Indonesia recorded the highest rice production and grain reserves in our history. We are now self‑sufficient in rice and we are starting now to export rice to other nations in need, including providing rice for Palestine. We are building resilient food supply chains, strengthening farmer productivity, investing in climate-smart agriculture to ensure food security for our children and for the children of the world. We are confident in a few years time, Indonesia will be the greenery of the world.
(Tahun ini, kita mencatat produksi beras dan cadangan gabah tertinggi dalam sejarah kita. Kita sekarang swasembada beras dan telah mengekspor beras ke negara-negara lain yang membutuhkan, termasuk menyediakan beras untuk Palestina. Kami membangun rantai pasok pangan yang tangguh, memperkuat produktivitas petani, dan berinvestasi dalam pertanian cerdas iklim untuk memastikan ketahanan pangan bagi anak-anak kami dan anak-anak di seluruh dunia. Kami yakin, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia.)
As the world’s largest island state, we testify before you that we are already experiencing the direct consequences of climate change, particularly the threat of rising sea levels. The sea level on the North Coast of our capital city is increasing by five centimeters every year. Can you imagine in 10 years? Can you imagine in 20 years? For this, we are forced to build a giant sea wall 480 kilometers in length. It will take us maybe 20 years, but we have no choice. We have to start now.
(Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kami bersaksi di hadapan Anda bahwa kami telah merasakan dampak langsung dari perubahan iklim, khususnya ancaman kenaikan permukaan air laut. Permukaan air laut di pesisir utara ibu kota kami naik 5 sentimeter setiap tahun. Bisakah Anda bayangkan dalam sepuluh tahun? Dalam dua puluh tahun? Untuk ini, kami terpaksa membangun tembok laut raksasa, sepanjang 480 kilometer. Mungkin butuh waktu 20 tahun, tetapi kami tidak punya pilihan. Kami harus mulai sekarang.)
Therefore we choose to confront climate change — not by slogans, but by immediate steps. We are committed to meeting our 2015 Paris Agreement obligations. We aim to achieve net zero emission by 2060 and we are very confident we can achieve net zero emission much earlier. We aim to reforest more than 12 million hectares of degraded forest, to reduce forest degradation, to empower local communities with quality green jobs for the future.
(Oleh karena itu, kami memilih untuk menghadapi perubahan iklim — bukan dengan slogan, tetapi dengan langkah-langkah segera. Kami berkomitmen untuk memenuhi kewajiban Perjanjian Paris 2015. Kami menargetkan emisi nol bersih pada tahun 2060 dan kami yakin dapat mencapai emisi nol bersih jauh lebih awal. Kami bertujuan untuk mereboisasi lebih dari 12 juta hektar lahan terdegradasi, mengurangi degradasi hutan, dan memberdayakan masyarakat lokal dengan lapangan kerja hijau yang berkualitas untuk masa depan.)
Indonesia is shifting decisively from fossil fuel based development towards renewable based development. From next year, most of our additional power generation capacity will come from renewables. Our goal is clear: To lift all of our citizens out of poverty and make Indonesia a hub for solutions to food, energy, and water security.
(Indonesia sedang beralih secara signifikan dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju pembangunan berbasis energi terbarukan. Mulai tahun depan, sebagian besar kapasitas pembangkit listrik tambahan kami akan berasal dari energi terbarukan. Tujuan kami jelas: Mengentaskan seluruh warga negara kami dari kemiskinan dan menjadikan Indonesia pusat solusi ketahanan pangan, energi, dan air.)
Madam President, excellencies,
We live in a time when hatred and violence can seem to be the loudest voices. But beneath this loud noise lies a quieter truth: That every person longs to be safe, to be respected, to be loved, and to leave a better world to their children. Our children are watching. They are learning leadership not from textbooks, but from our choices.
(Ibu Presiden, Yang Mulia, kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan terdengar seperti suara yang paling keras. Namun, di balik kebisingan ini terdapat kebenaran yang lebih tenang: bahwa setiap orang ingin merasa aman, dihormati, dicintai, dan mewariskan dunia yang lebih baik kepada anak-anak mereka. Anak-anak kita sedang memperhatikan. Mereka belajar kepemimpinan bukan dari buku teks, tetapi dari pilihan kita.)
Today, still, a catastrophic situation in Gaza is unfolding before our eyes. At this very moment, the innocent are crying for help [and] are crying to be saved. Who will save them? Who will save the innocent. Who will save the old and women? Millions are facing danger at this very moment, as we sit here. They are facing trauma. They are facing irreparable damage to their bodies. They are dying of starvation. Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?
(Saat ini, situasi bencana di Gaza masih terbentang di depan mata kita. Saat ini, orang-orang tak berdosa sedang menangis minta tolong, menangis untuk diselamatkan. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang-orang tak berdosa? Siapa yang akan menyelamatkan para lansia dan perempuan? Jutaan orang menghadapi bahaya saat ini juga, sementara kita duduk di sini, mereka menghadapi trauma, dan kerusakan yang tak tergantikan pada tubuh mereka, mereka sekarat karena kelaparan. Bisakah kita tetap diam? Akankah jeritan mereka tak terjawab? Akankah kita mengajari mereka bahwa umat manusia mampu bangkit menghadapi tantangan ini?)
Madam President,
We must act now, many speakers have said that. We must stand for a multilateral order where peace, prosperity, and progress are not the privilege of a few but the right of all. With a strong United Nations, we can build a world where the weak do not “suffer what they must,” but live the justice that they deserve.
(Ibu Presiden, kita harus bertindak sekarang. Banyak pembicara telah mengatakan hal itu. Kita harus memperjuangkan tatanan multilateral di mana perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan bukanlah hak istimewa segelintir orang, melainkan hak semua orang. Dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kuat, kita dapat membangun dunia di mana kaum lemah tidak menderita apa yang seharusnya mereka derita, tetapi menjalani keadilan yang pantas mereka dapatkan.)
Let us continue humanity’s great journey of ideals — the selfless aspirations that created the United Nations. Let us use science to uplift, not use science to destroy. Let rising nations help others to live themself.
(Mari kita lanjutkan perjalanan cita-cita agung umat manusia — aspirasi tanpa pamrih yang menciptakan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mari kita gunakan sains untuk mengangkat, bukan menggunakan sains untuk menghancurkan. Biarkan bangsa-bangsa yang sedang bangkit membantu bangsa lain untuk mengangkat diri mereka sendiri.)
I am convinced that the leaders of the great world civilisations: civilisations of the West, civilisations of the East, of the North, of the South, leaders of America, Europe, of India, China, the Islamic world, the whole world, I am convinced that they will rise to their role demanded by history. We are all hopeful that the leaders of the world will show great statesmanship, great wisdom, restraint, humility, overcome hate, overcome suspicion.
(Saya yakin bahwa para pemimpin peradaban dunia yang agung: Peradaban Barat, Timur, Utara, Selatan. Para pemimpin Amerika, Eropa, India, China, dunia Islam, seluruh dunia. Saya yakin mereka akan bangkit untuk peran yang dituntut oleh sejarah. Kita semua berharap para pemimpin dunia akan menunjukkan kenegarawanan yang agung, kebijaksanaan yang agung, pengendalian diri, dan kerendahan hati, mengatasi kebencian, mengatasi kecurigaan.)
Madam President, distinguished delegates,
We are greatly heartened by the events of the last few days where significant leading countries of the world have chosen to side with history, to choose the right side of history – the path of the moral high ground, the path of rectitude, the path of justice, the path of humanity, to shun hatred, to overcome suspicion and to avoid the use of violence. The use of violence will be get violence. No one country can bully the whole Community of the human family.
(Ibu Presiden, para Delegasi yang terhormat, kami sangat berbesar hati dengan peristiwa beberapa hari terakhir, di mana negara-negara terkemuka dunia telah memilih untuk berpihak pada sejarah—jalan moral yang luhur, jalan kebenaran, jalan keadilan, kemanusiaan, dan menjauhi kebencian, mengatasi kecurigaan, serta menghindari penggunaan kekerasan. Penggunaan kekerasan akan melahirkan kekerasan. Tidak ada satu negara pun yang dapat menindas seluruh komunitas umat manusia.)
We may be weak individually, but the sense of oppression, the sense of Injustice, has proven in the history of mankind that this sense of injustice. This sense of oppression will unite in a strong force that will overcome this oppression, that will overcome this injustice.
(Kita mungkin lemah secara individu, tetapi rasa penindasan, rasa ketidakadilan, yang telah terbukti dalam sejarah umat manusia, akan bersatu dengan kekuatan dahsyat yang akan mengatasi penindasan ini, ketidakadilan ini.)
To close, I would like to reiterate again Indonesia’s complete support for the Two State-Solution in Palestine. We must have an independent Palestine, but we must also, we must also recognize, we must also respect, and we must also guarantee the safety and security of Israel. Only then, we can have real peace, real peace, and no longer hate and no longer suspicion. The only solution is this, two state-solution.
(Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali dukungan penuh Indonesia terhadap Solusi Dua Negara di Palestina. Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus mengakui dan menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan demikianlah kita dapat mencapai perdamaian sejati: perdamaian tanpa kebencian, perdamaian tanpa kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara ini.)
Two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace and harmony. Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions, we must live as one human family. Indonesia is committed to being part of making this vision a reality. Is this a dream? Maybe, but this is the beautiful dream that we must work together towards.
(Dua keturunan Abraham harus hidup dalam rekonsiliasi, kedamaian, dan harmoni. Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama. Kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mewujudkan visi ini. Apakah ini mimpi? Mungkin. Namun inilah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama.
Let us work towards this noble goal. Let us continue humanity’s journey of hope – a journey started by our forefathers. A journey that we must complete.
(Mari kita lanjutkan perjalanan harapan umat manusia, sebuah perjalanan yang dimulai oleh para leluhur kita, sebuah perjalanan yang harus kita selesaikan.)
Thank you.
(Terima kasih.)
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syalom,
Om santi santi santi om,
Namo Buddhaya,
Thank you very much.
May God bless us all. May peace be upon us.
Thank you very much.
(Dhera Arizona)