Selain itu, APINDO juga menyoroti soal pengambilan keputusan guna mencapai sebuah kesepakatan dalam rangka merestrukturisasi utang.
“Pengambilan keputusan apakah ini akan mencapai sebuah kesepakatan untuk restrukturisasi utangnya atau ditolak. Kalau diterima itu berarti terjadi restrukturisasi utang sesuai dengan jadwal yang diajukan oleh debiturnya. Tapi kalau ditolak, itu langsung pailit. Mekanisme pengambilan keputusan ini tidak proporsional,” jelas Hariyadi.
Menurutnya, dalam pengambilan keputusan tersebut ada dua kamar. Dimana kamar pertama untuk kreditur yang mempunyai jaminan atau kreditur separatis, lalu kamar kedua ditempati oleh kreditur yang tidak mempunyai jaminan atau kreditur konkuren.
“Pengambilan dua kamar ini, hasilnya adalah kalau salah satu kamar menyatakan tidak setuju maka jatuh keputusan tidak setuju. Ini contoh yang tidak proporsional. Seharusnya, untuk menentukan suatu perusahaan itu insolvensi atau tidak mampu melanjutkan operasionalnya maka harus dilakukan insolvensi tes untuk mengukur seberapa tingkat kemampuan perusahaan itu masih layak beroperasi,” paparnya.
Hal lain yang menjadi perhatian APindo, adalah di dalam kaitan PKPU tidak mengenal ne bis in idem. Dimana dalam suatu perkara sudah diajukan maka seharusnya untuk gugatan yang sama tidak dapat diajukan kembali.