Di sisi lain, Pertamina mulai mengembangkan hidrogen hijau, yang dihasilkan dari air dengan menggunakan energi terbarukan (EBT). Hidrogen hijau dianggap sebagai salah satu bahan bakar masa depan paling potensial karena menghasilkan nol emisi.
Karena itu, perseroan berencana mengembangkan fasilitas produksi hidrogen hijau berskala besar dengan kapasitas 50 ribu ton per tahun pada 2026-2030. Proyek ini mengandalkan sumber daya energi terbarukan yang sudah dimiliki Pertamina, terutama dari panas bumi dan tenaga surya.
Meskipun hidrogen hijau memiliki potensi besar, Pertamina dihadapkan pada biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan hidrogen yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Nilai investasi yang dibutuhkan dalam proyek jangka panjang ini mencapai USD1,5-USD2 miliar termasuk investasi teknologi elektrolisis, infrastruktur penyimpanan, dan biaya distribusi.
Karena itu, dibutuhkan kerja sama dengan beberapa mitra internasional, termasuk menjajaki potensi ekspor hidrogen hijau ke pasar global khususnya Eropa yang semakin membutuhkan energi bersih. Saat ini Pertamina telah menggandeng ENEOS Corporation, sebuah perusahaan energi asal Jepang untuk mengembangkan teknologi hidrogen hijau.
Infrastruktur Kendaraan Listrik
Untuk mempercepat transisi energi, Pertamina juga melebarkan sayapnya ke bisnis infrastruktur kendaraan listrik (EV). Anak usahanya, Pertamina Power Indonesia (PPI) meluncurkan sejumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Bali pada 2022 lalu.